Media Informasi Masyarakat

PHDI dan MDA Bali Larang Kegiatan Pengembangan Ajaran ”Sampradaya” Non-”Dresta” Bali

Denpasar, Baliglobalnews

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali melarang sampradaya non-dresta Bali di Bali menggunakan Pura dan wewidangan-nya, tempat-tempat umum/fasilitas publik, seperti jalan, pantai, dan lapangan untuk melaksanakan kegiatannya.

Keputusan bersama nomor :106/PHDI-Bali/XII/2020 dan nomor :07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tentang pembatasan kegiatan pengembangan ajaran sampradaya non-dresta bali di Bali ditandatangani oleh Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana dan Bendesa Agung MDA Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, pada Rabu, Buda Umanis, Prangbakat (16/12/2020)

Dasar pertimbangan pelarangan tersebut yakni a. bahwa hak beragama dan memeluk keyakinan merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, yang pelaksanaannya wajib menghormati hak asasi orang lain untuk tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. Bahwa adanya sebagian sampradaya non-dresta Bali di Bali dalam pengembangan ajarannya selama ini telah menimbulkan keresahan dan protes dari masyarakat, sehingga sangat mengganggu kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali yang telah terbangun selama berabad-abad berdasarkan adat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal dresta Bali;

c. Bahwa dalam menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban  kehidupan beragama Hindu serta pelaksanaan kegiatan pengembangan ajaran sampradaya non-dresta Balidi Bali, perlu diatur dengan Keputusan Bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali;

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Bersama tentang Pembatasan Kegiatan Pengembanan Ajaran Sampradaya non-dresta Bali di Bali; 

1. Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726);

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 3. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 Tahun 2009, Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

3. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP- 107/J.A/5/1984 tentang Larangan Peredaran Barang- Barang Cetakan yang Memuat Ajaran Kepercayaan Hare Krishna di Seluruh Indonesia; 5. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4); 5. Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2020 tentang Fasilitasi Pelindungan Pura, Pratima, dan Simbol Keagamaan (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2020 Nomor 25);

Mengingat: Memperhatikan: a. Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali Nomor 006/SK/PHDI-BALI/VIII/2020 tentang Menyikapi Permasalahan Sampradaya Hare Krishna/ISKCON Tanggal 27 Agustus 2020; b. Instruksi Majelis Desa Adat Provinsi Bali Kepada Bandesa Adat atau Sebutan Lain Desa Adat se-Provinsi Bali Nomor 01/SI/MDA-PBali/VIII/2020 tertanggal 5 Agustus 2020 Perihal Instruksi Penyikapan Keberadaan Sampradaya di Wewidangan Desa Adat; c. Surat Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali kepada Ketua Umum PHDI Pusat Nomor 066/PHDI- BALI/VIII/2020 tertanggal 1 Agustus 2020 perihal surat pernyataan tentang Hare Krishna/ISKCON;

Surat Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali kepada Ketua PHDI Kabupaten/Kota se-Bali, Ketua PHDI Kecamatan, Kedesaan/Kelurahan di Kabupaten/Kota se- Bali Nomor 076/PHDI-BALI/VIII/2020 tertanggal 6 Agustus 2020 perihal Pengawasan dan Koordinasi; e. Surat Majelis Desa Adat Provinsi Bali kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat Nomor 166/MDA- ProvBali/VIII/2020 tertanggal 5 Agustus 2020 Perihal Usulan Pencabutan Pengayoman ISKCON;dan; f. Surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali kepada Gubernur Bali Nomor 030/4260/DPRD tertanggal 12 Oktober 2020 perihal Sikap DPRD Provinsi Bali; memutuskan: menetapkan keputusan bersama Parisada  Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali tentang pembatasan kegiatan pengembanan ajaran sampradaya non-dresta Bali di Bali;

Pertama, Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dan  Majelis Desa Adat Provinsi Bali secara bersama-sama melindungi setiap usaha penduduk menghayati dan mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.

Kedua, sampradaya non-dresta Bali merupakan organisasi dan/atau perkumpulan yang mengemban paham, ajaran, dan praktek ritual yang tata pelaksanaannya tidak sesuai dengan adat,tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal dresta Bali. Ketiga, untuk menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu serta pelaksanaan kegiatan pengembanan ajaran sampradaya non-dresta Balimaka menugaskan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan se-Bali untuk secara bersama-sama untuk:

1. Melarang sampradaya non-dresta Bali di Bali menggunakan Pura dan Wewidangan-nya, tempat-tempat umum/fasilitas publik, seperti jalan, pantai, dan lapangan untuk melaksanakan kegiatannya;

2. Melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali dalam pengembanan ajarannya;

3. Melakukan koordinasi dengan Majelis Desa Adat sesuai tingkatan dan Prajuru Desa Adat dalam mengawasi, memantau, dan mengevaluasi keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali; dan

4. Melaporkan hasil kegiatan pelarangan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, dengan tembusan kepada Majelis Desa Adat Provinsi Bali.

5. Majelis Desa Adat Kabupaten/Kota dan Kecamatan beserta Prajuru Desa Adat se-Bali untuk secara bersama-sama melaksanakan:

1. penjagaan kesakralan dan kesucian Pura yang adadi Wewidangan Desa Adat, meliputi Pura Kahyangan Banjar, Pura Kahyangan Desa, Pura Sad Kahyangan, Pura Dhang Kahyangan, serta Pura Kahyangan Jagat lainnya;pelarangan kegiatan ritual sampradaya non-dresta Bali di Wewidangan Desa Adat yang bertentangan dengan Sukreta Tata ParahyanganAwig-AwigPararem, dan/atau Dresta Desa Adat masing-masing;

2. Pelarangan sampradaya non-dresta Bali di Bali melaksanakan kegiatan di Pura/Kahyangan yang ada di Wewidangan Desa Adat dan/atau Kahyangan Tiga masing-masing Desa Adat;

3. Koordinasi dengan pangempon masing-masing Pura untuk melarang kegiatan sampradaya non-dresta Bali yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu di Bali, apabila mereka berkeinginan dan/atau melaksanakan kegiatan di Pura/Parahyangan (Dhang Kahyangan atau Kahyangan Jagat) atau tempat suci lain yang ada di Wewidangan Desa Adat yang menjadi tanggungjawab pangempon masing-masing sesuai Dresta setempat;

4. Pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap sampradaya non-dresta Bali di Bali dalam pengembanan ajarannya;

5. Koordinasi dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia sesuai tingkatan dalam mengawasi, memantau, dan mengevaluasi keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali;dan

6.Melaporkan hasil kegiatan pelarangan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap sampradaya non-dresta Bali di Bali kepada Majelis Desa Adat Provinsi Bali dengan tembusan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali.

Keempat, para penganut, anggota, pengurus dan/atau simpatisan sampradaya non-dresta Bali di Bali di dalam mengemban atau melaksanakan cita-cita dan kewajiban ajarannya, dilarang:

a. Melakukan penafsiran terhadap ajaran dan tatanan pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali; b. Mengajak dan/atau mempengaruhi orang lain untuk mengikuti ajaran sampradaya non-dresta Bali;

c. Menyebarluaskan pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan pelaksanaan kegiatan keagamaan Hindu di Bali serta tidak sesuai dengan Adat, Tradisi, Seni, Budaya, dan kearifan lokal; d. Memasukkan ajaran keyakinan sampradaya non-dresta Bali ke dalam buku agama Hindu dan buku pelajaran agama Hindu di Bali; e. Mengajarkan dan melakukan aktivitas dalam bentuk apapun pada lembaga-lembaga pendidikan di Bali; dan/atau; f. Melakukan kegiatan ritual yang menyerupai kegiatan keagamaan Hindu dresta Bali di Bali.

Kelima, kepada penganut, anggota, pengurus dan/atau simpatisan  Hare Krishna/International Society Krishna Consciousness (ISKCON) beserta organisasinya di Bali sebagai bagian dari sampradaya non-dresta Bali agar sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab menaati Keputusan Bersama ini dan melaksanakan pernyataan kesanggupan yang telah dibuat dalam mewujudkan kedamaian dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali.

Keenam, penganut, anggota, pengurus,  dan/atau simpatisan sampradaya non-dresta Bali beserta organisasinya di Bali yang tidak menaati Keputusan Bersama ini dan/atau menimbulkan gangguan kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali, dapat diberikan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan/atau Hukum Adat di masing-masing Desa Adat.

Ketujuh, masyarakat berkewajiban berperan aktif membantu pelaksanaan Keputusan Bersama ini dalam rangka menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali. (bgn003)20121624

Comments
Loading...