Denpasar, Baliglobalnews
Sidang pemeriksaan terdakwa dugaan kasus pabrik narkoba di salah satu Vila, di Kuta Utara, Badung, pada Kamis (21/8/2025) menghadirkan ahli pidana Maria Silvya E. Wangga.
Di hadapan Ketua Majelis Hakim Eni Martiningrum itu, terdakwa Roman Nazarenko (42) WNA asal Ukraina menegaskan bukan sebagai bos dalam produksi narkotika jenis mephedrone dan budidaya ganja hidroponik. “Saya hanya menerima perintah dari seorang pria bernama Oleg Tkachuk. Saya tahu mereka memproduksi narkotika, tapi saya tidak ada hubungan bisnis dengan mereka,” kata terdakwa Romana.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ryan menyebutkan keterangan Roman terkait keterlibatannya dalam grup Telegram bernama Hydra dan Omnic yang membahas produksi narkoba.
Dalam sidang terdakwa kembali menegaskan tidak ada di grup tersebut. “Saya tidak ada di grup itu. Grup Omnic saya tahu, tapi saya tidak pernah memberikan pelatihan produksi narkotika,” ucapnya.
Terdakwa menampik tudingan bahwa dirinya menyalurkan dana kepada kembar Volovod. Namun, terdakwa menjelaskan uang yang sempat diserahkannya bukan bersumber darinya, melainkan dari Tkachuk. “Memang benar saya pernah memberikan uang, tapi itu bukan uang saya. Itu uang bos saya, Oleg Tkachuk. Saya hanya diminta menyerahkan,” katanya.
Sementara ahli hukum pidana Maria Silvya E. Wangga yang menjelaskan, keabsahan proses pidana yang dijalankan terdakwa. Maria yang juga Wakil Dekan III Universitas Trisakti Indonesia itu menjelaskan, prosedur penetapan daftar pencarian orang (DPO) terhadap tersangka yang berada di luar negeri.
Menurut dia, mekanisme tersebut tidak bisa hanya mengacu pada aturan internal kepolisian, melainkan harus sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA). “Kalau seseorang sudah ditetapkan sebagai DPO dan berada di luar negeri, prosedurnya harus melalui Menkumham atas permintaan Kapolri serta Kejaksaan, lalu diajukan secara diplomatik kepada negara bersangkutan,” katanya.
Dia menambahkan, Peraturan Kapolri (Perkap) hanya bersifat internal dan tidak bisa dijadikan acuan dalam penegakan hukum lintas negara.
Maria menilai masih ada kekosongan hukum, terutama dalam Undang-Undang Kepolisian yang hanya menyebutkan kerja sama antarnegara tanpa detail persyaratan maupun prosedur. “Dalam Perkap pun tidak ada penjelasan mendasar mengenai definisi DPO. Padahal, ketika bicara soal aturan hukum publik, penegak hukum membutuhkan kepastian prosedural,” tegasnya. (bgn008)25082209