DPRD Bali Siap Kawal Aspirasi Warga “Kepet Adat” Kasus Tanah di Jimbaran

Denpasar, Baliglobalnews

Komisi I DPRD Bali siap mengawal aspirasi 130 warga Buana Gubug dan Mekar Sari yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat). Hal itu mengemuka ketika warga yang merupakan penyakap, waris penyakap, pemilik lama, krama desa adat, dan krama subak, terkait kasus tanah di Wilayah Jimbaran diterima Komisi I di DPRD Bali pada Senin (3/2/2025).

Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budi Utama mengatakan kedatangan warga bertujuan menyampaikan aspirasi serta meminta bantuan kepada anggota dewan terkait permasalahan hukum atas perpanjangan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) tanah seluas 280 hektar di Jimbaran. ”Mereka menilai perpanjangan SHGB yang diberikan kepada sejumlah perusahaan swasta di Jimbaran dilakukan secara tidak sah,” katanya.

Pihaknya mengapresiasi terhadap kedatangan warga dan memastikan DPRD Bali akan mengkaji dokumen dan barang bukti yang telah diserahkan dan segera memanggil pihak-pihak terkait, termasuk investor dan Badan Pertanahan Provinsi Bali. “Kami akan pelajari dokumen yang telah diserahkan. Jika ada yang kurang, kami akan tetap berkoordinasi dengan pihak terkait. Kasus ini sudah masuk ke pengadilan, jadi kami harus berhati-hati dalam menyikapinya,” ucapnya.

Budi Utama menyebutkan asal-usul tanah ini akan menjadi perhatian serius DPRD, terutama karena berkaitan langsung dengan kebijakan pertanahan di Provinsi Bali.

Sementara Kuasa hukum Kepet Adat, I Nyoman Wirama, mengatakan seorang warga I Wayan Bulat (67) seorang pensiunan Polri yang beralamat di Jalan Uluwatu I, Jimbaran, menghadapi gugatan dari seorang pengusaha, karena disebut menyerobot tanah milik perusahaan. “Gugatan ini dilayangkan setelah warga menolak meninggalkan lahan yang telah dia tempati turun-temurun,” katanya.

Menurut informasi yang didapat Wirama, tanah itu akan dibangun fasilitas pariwisata atau akomodasi. “Enam bulan lalu warga mulai digugat, karena masih bertahan di tanah tersebut, meskipun sudah diminta pergi. Namun, warga merasa memiliki hak atas lahan ini, sebab mereka telah menguasainya dengan iktikad baik selama puluhan tahun,” ujarnya.

Pada tahun 1994 pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan alasan untuk kepentingan umum, padahal lahan tersebut sudah ditetapkan sebagai lahan terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional. Namun, lahan yang dibebaskan secara paksa itu, justru diterbitkan sejumlah SHGB.

Lahan yang dibebaskan tersebut hingga kini masih telantar, sehingga warga menduga pembebasan lahan bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan bisnis pribadi, karena info yang beredar salah satu perusahaan melakukan kerja sama pengelolaan dan penjualan perumahan dengan perusahaan pengembang.

Selain itu, kata dia, ada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam perpanjangan SHGB lahan tersebut. Perpanjangan dilakukan dengan dalih bahwa lahan akan digunakan untuk fasilitas multilateral dalam sebuah acara internasional pada tahun 2013. Namun, hingga saat ini tidak ada pembangunan sesuai rencana.

“Ini perlu saya garis bawahi, pengalihan tanah adat ini oleh para pengusaha katanya atas dasar jual-beli. Kemudian SHGB tersebut, 280 hektar, diperbanyak dengan Surat Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur, dan pejabat lainnya bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk sarana-prasarana kegiatan multilateral yaitu KTT APEC yang diselenggarakan pada tahun 2013,” terangnya.

Wirama menduga ada praktik penyelundupan hukum dalam penerbitan HGB tersebut, yang dinilai memiliki kemiripan dengan kasus Pagar Laut di Tangerang, di mana lahan adat dialihkan secara ilegal ke pihak swasta melalui permainan dokumen. “Ini patut diduga ada aksi penyelundupan hukum, ini diduga menggunakan motif yang mirip dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan SHGB Pagar Laut di Tangerang,” sebutnya.

Sementara seorang warga bernama Nyoman Tekad menyampaikan tanah tersebut merupakan warisan dari Kerajaan Mengwi yang sejak lama dikelola oleh warga desa adat dengan sistem bagi hasil. Namun, perubahan besar terjadi setelah Indonesia merdeka, ketika tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah negara. Meskipun tetap dikelola oleh warga, pada tahun 1994-1995 terjadi penggusuran massal yang diduga dilakukan secara tidak manusiawi.

“Penggusuran itu hampir bersamaan dengan sebuah proyek besar kala itu. Kami, warga Subak Balang Tamak, kebanyakan orang kecil pendidikan rendah, tidak tahu harus mengadu ke mana saat itu. Lahan kami diambil alih, mohon maaf, oleh aparat dan kami dipaksa menyerahkan tanah kepada investor untuk diberikan HGB,” jelasnya.

Akibatnya, kata dia, banyak warga kehilangan tanah mereka, sementara sejumlah sertifikat HGB diterbitkan atas nama pihak swasta

Warga lainnya, I Wayan Bulat, menyampaikan keluhannya bahwa akses menuju tanahnya semakin terbatas akibat pembangunan hotel di sekitarnya. “Sebelah saya hotel sebelah lagi hotel, tapi tempat saya itu masih tetap hutan, semak belantara. Susah saya keluar masuk,” katanya.

Dia mengatakan pernah ada rencana pemindahan Pura Balang Tamak, yang merupakan Pura Swagina pada tahun 2020. “Kami Sudah mediasi dengan pihak pengusaha, pura saya mau digusur, itu Pura Balang Tamak mau digusur mau dipindahkan. Kok pura dipindahkan? Itu bukan sih pernyataan resmi ya, itu ada petugas-petugasnya yang datang ke rumah, katanya mau mindahin pura dan saya harus pindah, dengan catatan saya akan diganti rugi tanah 2 are,” katanya.

Bulat mengatakan dirinya merupakan generasi kedelapan sekaligus yang mengurusi pura tersebut dan warga yang masih tinggal di lahan tersebut. Dia menolak disebut sebagai penyerobot karena tanah itu merupakan warisan turun-temurun. (bgn/008)25020308

dprdbali
Comments (0)
Add Comment
Access Rytr for advanced AI writing.