OECD (2019) telah merilis hasil PISA (Programme for International Student Assessment/Program Penilaian Pelajar Internasional) untuk cakupan tes membaca, matematika, dan sains tahun 2018 yang menunjukkan skor literasi matematika Indonesia adalah 379, masuk pada kelompok sepuluh besar terbawah, sedangkan Cina dengan skor 591 menempatkannya pada posisi pertama. Jika dihitung, Indonesia sudah tujuh kali mengikuti PISA dengan hasil menempati urutan/ranking bawah. Walaupun beberapa kali ada peningkatan, namun peningkatannya belum signifikan.
PISA bertujuan untuk mengukur kualitas literasi baca tulis, numerasi, dan sains pada suatu negara. Dalam pelaksanaannya, PISA diikuti oleh siswa berusia 15 tahun. Kemampuan siswa saat mengikuti tes PISA tentu sangat dipengaruhi oleh kemampuan jenjang sebelumnya yang didapat saat mengenyam pendidikan di SD selama 6 tahun, serta 1-2 tahun saat menginjak bangku SMP. Ini perlu menjadi atensi, bahwa jika ingin meningkatkan hasil PISA, maka perlu komitmen kolaboratif untuk melakukan pembenahan kualitas literasi numerasi pada siswa jenjang SD.
Perbaikan kualitas literasi baca tulis dan numerasi semestinya menjadi hal utama yang menjadi fokus pemerintah dan insan pendidik di SD. Dari segala macam kompetensi (muatan pembelajaran) yang harus dikuasai di sekolah dasar, hanya kemampuan literasi baca tulis dan numerasi yang akan digunakan oleh seluruh siswa di masa depan (sepanjang sisa hidupnya). Kompetensi lainnya, hanya digunakan oleh beberapa siswa yang akan bekerja pada bidang-bidang tertentu. Jadi, apapun pekerjaan/profesi siswa nantinya, kemampuan literasi baca tulis dan numerasi tetap akan dipergunakan oleh siswa sepanjang hayat. Oleh sebab itu, pembelajaran matematika yang berlangsung di sekolah perlu memperhatikan aspek-aspek literasi numerasi secara terarah.
Pembelajaran matematika amat erat kaitannya dengan literasi numerasi. Secara sederhana, literasi numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan menerapkan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah, sekolah, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara). Selain itu numerasi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang berada di sekitar (Zulkifli dan Sumadi, 2018). Kata kuncinya adalah, literasi numerasi berkaitan dengan kemampuan pengolahan informasi matematis sehingga bisa diterapkan untuk memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari.
Dari sisi regulasi kurikulum, materi matematika yang diajarkan di SD dirasa perlu untuk dilakukan perbaikan (revisi), terutama agar lebih menitikberatkan materi yang berkaitan dengan aspek-aspek pemecahan masalah, matematisasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, hubungan matematika dengan karakter Pancasila, serta kemampuan memprediksi sesuatu peristiwa berdasarkan hitung-hitungan matematis.
Berdasarkan kebutuhan penguasaan informasi matematis (literasi numerasi) yang harus dikuasai siswa, sebagaimana disebutkan di atas, ada beberapa tips yang bisa diterapkan dalam proses belajar matematika, sebagai berikut. Pertama, siswa perlu dilatih untuk menemukan penyelesaian matematika (tidak harus melalui rumus-rumus yang sudah ada). Artinya untuk menyelesaikan suatu masalah, siswa diajak menemukan sendiri langkah penyelesaiannya melalui logika matematis/tidak disajikan rumus baku untuk diterapkan. Kedua, siswa diajak untuk memanfaatkan peta/marking lingkungan sebagai sumber belajar (math city map). Pada materi-materi tertentu, seperti geometri dan bilangan, pemanfaatan lingkungan sangat potensial untuk memberikan daya tarik dan mewujudkan matematika yang kontekstual/realistik.
Ketiga, menerapkan pembelajaran dengan masalah terbuka, artinya permasalahan tersebut bisa memiliki lebih dari satu jawaban. Itu akan membuka ruang berpikir kritis bagi siswa. Keempat, memberikan evaluasi yang mengasah HOTS (Higher Order Thinking Skills). Soal HOTS belum tentu sulit, sebaliknya soal sulit belum tentu HOTS. Misalnya siswa diajak untuk menghitung hasil luas persegi panjang yang panjangnya 345 cm dan lebarnya 998 cm. Itu adalah soal yang sulit, namun tidak HOTS. Soal HOTS akan mengajak siswa mencari jawaban dengan mengolah lebih lanjut informasi yang ada pada soal, misalnya mencari keliling persegi yang luasnya 16 m2.
Apabila ditinjau dari sisi regulasi, muatan matematika yang ada pada kurikulum dirasa perlu disederhanakan, sehingga kompetensi yang dikuasai siswa fokus pada hal-hal yang sederhana, berguna bagi kehidupan sehari-hari, dan memberi waktu lebih bagi guru untuk melakukan eksplorasi dan pengembangan HOTS siswa. Jadi tidak semata-mata berfokus pada upaya penyelesaian materi dan sekadar tuntas. Terkait hal ini, kita perlu menunggu upaya pemerintah yang berencana meluncurkan kurikulum baru, yang sebelumnya sudah diuji coba (prototype) pada beberapa sekolah penggerak
Upaya yang bisa dilakukan oleh pendidik adalah mengajak siswa sesering mungkin memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, serta mengajak siswa memprediksi hal-hal yang terjadi berikutnya dengan hitung-hitungan matematis. Ini memang membutuhkan waktu dan komitmen yang besar. Negara-negara maju memiliki kualitas literasi yang sangat baik. Indonesia masih belum terlambat untuk menjadi negara maju mengingat 2045 kita akan memiliki banyak SDM usia produktif. Jadi siswa SD saat ini perlu ditingkatkan kualitas literasi numerasinya melalui pendidikan yang menitikberatkan penguatan literasi numerasi dengan serius dan berkelanjutan.
Penulis adalah Guru Penggerak Kemdikbudristek di Pemkab Badung, Finalis ONIP 2020, dan Pemakalah Seminar Tingkat Nasional.
(bgn003)21122602