Denpasar, Baliglobalnews
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali bersama LBH Kongres Advokat Indonesia dan Advokasi Peduli Bangsa Bali, serta Fakultas Hukum Unud, menggelar seminar hukum dan sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan mulai berlaku pada 2026, di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud), pada Kamis (6/3/2025).
Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ketut Sumedana memberikan materi tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan mulai berlaku pada 2026, termasuk pengakuan terhadap living law, perubahan jenis pidana, serta peran hakim komisaris dalam sistem peradilan. “Jadi, pentingnya memahami Pasal 132 KUHP baru, yang menegaskan bahwa penuntutan merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyidikan guna menjamin kepastian hukum bagi pencari keadilan,” katanya.
Dia mengatakan hukum pidana Indonesia mengalami perkembangan yang panjang, berakar dari Code Pénal Prancis tahun 1810, kemudian masuk ke Belanda menjadi Wet Book Van Strafrecht (WvS) pada 1881, dan akhirnya diterapkan di Hindia Belanda pada 1918.
Menurut dia, KUHP yang selama ini digunakan di Indonesia masih merupakan warisan kolonial, sementara negara asalnya telah melakukan berbagai revisi. Oleh karena itu, kehadiran KUHP baru yang akan diberlakukan pada awal 2026 harus dimaknai sebagai modernisasi hukum pidana nasional yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Ketut Sumedana juga menguraikan beberapa perbedaan krusial antara KUHP lama dan KUHP baru yang perlu dipahami oleh praktisi dan akademisi hukum. Beberapa poin utama yang dibahas antara lain pengakuan terhadap living law (hukum yang hidup), penambahan jenis pidana, konsep judicial pardon, serta tindak pidana yang diakomodasi dalam KUHP baru. Ia menekankan pentingnya memahami perubahan ini agar dapat diterapkan secara efektif dalam praktik hukum di Indonesia.
Sumedana menjelaskan keberhasilan proses pembuktian di persidangan oleh Penuntut Umum adalah keberhasilan proses penyidikan. Sehingga, penyidikan itu tidak bisa dilepaskan dari proses prapenututan dan penuntutan, yang tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian bagi pencari keadilan dalam hal ini pelaku dan korban.
“Banyak perkara yang mengalami bolak-balik proses atau berlarut-larut tanpa kepastian hukum, sehingga keberadaan Pasal 132 KUHP harus dimaknai secara harfiah sebagai satu kesatuan utuh dalam proses penegakan hukum. Sehingga, Kita semua yang hadir disini setuju menghindari bolak balik perkara dan perkara berulang tahun tanpa mendapatkan kepastian hukum, maka kehadiran pasal 132 KUHP harus dimaknai secara harfiah bahwa proses penyidikan dan penuntutan adalah bagian satu kesatuan yang utuh mempertanggungjawabkan proses penegakan hukum yang berkeadilan dan bermanfaat bagi penegakan hukum dan masyarakat,” terangnya.
Sumedana berharap agar kehadiran KUHP baru tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan, melainkan sebagai instrumen hukum yang akan mempercepat dan menyederhanakan proses penegakan hukum di Indonesia.
Dia menegaskan KUHP baru ini hadir untuk menciptakan hukum yang lebih dinamis, harmonis, dan modern, yang dapat menjawab tantangan zaman serta meningkatkan kepastian hukum bagi masyarakat di masa mendatang. (bgn008)