Jawa timur, Baliglobalnews
Erupsi Gunung Semeru pada 19 November 2025 kembali mengingatkan kita bahwa Indonesia hidup di atas garis bahaya yang tidak pernah benar-benar tidur. Gunung tertinggi di Pulau Jawa ini lagi-lagi memuntahkan abu vulkanik, memaksa warga di sekitar lereng untuk mengungsi, menghentikan aktivitas ekonomi, dan meninggalkan rumah yang mereka bangun dengan penuh perjuangan.
Di balik kabut erupsi itu, terdapat persoalan sosial yang jauh lebih mendalam, yakni kesiapsiagaan masyarakat, kebijakan mitigasi yang belum optimal, serta pola komunikasi risiko yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan warga.
Semeru bukanlah gunung yang tiba-tiba meletus tanpa tanda. Aktivitas vulkaniknya cukup rutin, dan catatan erupsi tahun-tahun sebelumnya membuktikan bahwa masyarakat di Kabupaten Lumajang hidup berdampingan dengan ancaman yang jelas. Namun, setiap kali erupsi terjadi, kita menyaksikan kepanikan, kebingungan, dan keterlambatan informasi. Situasi ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara pengetahuan bencana yang dimiliki lembaga resmi dengan pemahaman masyarakat di tingkat akar rumput.
Dari perspektif sosiologi bencana, fenomena ini menunjukkan bahwa bencana bukan hanya peristiwa alam, tetapi juga hasil interaksi antara kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Ketika informasi tidak sepenuhnya dipahami, dan masyarakat masih mengandalkan pengetahuan turun-temurun yang tidak selalu akurat, atau ketika akses terhadap teknologi dan pendidikan tidak merata, maka ancaman alam berubah menjadi tragedi sosial. Erupsi 19 November 2025 adalah contoh nyata bagaimana masyarakat yang tinggal di wilayah rawan harus menghadapi situasi sulit sambil membawa beban ekonomi dan psikologis.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar warga yang tinggal di zona bahaya adalah kelompok berpenghasilan rendah. Mereka menggantungkan hidup pada lahan pertanian, peternakan, atau pekerjaan informal di sekitar kaki gunung. Keterbatasan ekonomi membuat mereka sulit berpindah tempat tinggal atau mencari mata pencaharian baru.
Dalam konteks antropologi budaya, keterikatan mereka pada tanah leluhur juga memainkan peran penting. Lahan yang diwariskan turun-temurun tidak hanya bernilai ekonomis tetapi juga emosional. Karena itu, ajakan untuk “mengungsi permanen” bukanlah keputusan sederhana.
Sebagai mahasiswa yang mempelajari sosiologi dan antropologi, kami melihat bahwa erupsi Semeru tidak hanya memperlihatkan kekuatan alam, tetapi juga menyingkap bagaimana struktur sosial masyarakat berperan besar dalam menentukan tingkat kerentanan warga. Melalui berbagai pembahasan di kelas, kami memahami bahwa bencana tidak dapat dipandang sebagai kejadian alam semata, tetapi merupakan hasil interaksi antara manusia, lingkungan, dan kondisi sosial-ekonomi.
Dalam kasus Semeru, kelompok masyarakat dengan akses informasi terbatas dan kemampuan ekonomi rendah menjadi pihak yang paling terdampak. Hal ini menguatkan pemahaman kami bahwa keadilan sosial dan pemerataan pembangunan memiliki kaitan langsung dengan keselamatan warga dalam situasi bencana.
Erupsi Semeru 2025 mempertegas perlunya pendekatan mitigasi berbasis komunitas. Pendekatan top-down sering kali tidak memadai karena masyarakat membutuhkan penjelasan yang sesuai dengan bahasa, budaya, dan pola komunikasi lokal. Relawan, tokoh desa, dan jaringan sosial setempat seharusnya dioptimalkan menjadi bagian dari sistem peringatan dini. Studi-studi antropologi menunjukkan bahwa masyarakat akan lebih percaya pada informasi yang datang melalui figur yang mereka kenal, daripada sekadar imbauan formal dari lembaga pemerintah.
Selain itu, literasi bencana perlu diperkuat. Pendidikan kebencanaan tidak dapat berhenti pada sosialisasi tahunan menjelang musim hujan. Pendidikan kebencanaan harus masuk ke sekolah, kelompok tani, posyandu, hingga kegiatan keagamaan. Ketika masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentang karakter Semeru, arah aliran lahar, atau tanda-tanda letusan, mereka jauh lebih siap menghadapi kemungkinan terburuk. Sebagai calon guru SD, saya menyadari bahwa pendidikan kebencanaan harus mulai diberikan sejak anak-anak berada di bangku sekolah dasar. Anak-anak yang tumbuh di wilayah rawan bencana seperti Lumajang harus memiliki pemahaman dasar mengenai apa yang harus dilakukan saat terjadi erupsi dan bagaimana menjaga keselamatan diri.
Melalui pembelajaran tematik, guru dapat mengenalkan konsep mitigasi secara sederhana, misalnya melalui cerita, simulasi, permainan, dan gambar. Pendidikan sejak dini dapat membentuk generasi yang lebih siap dan tidak mudah panik ketika menghadapi kondisi darurat. Refleksi ini semakin memperkuat komitmen saya bahwa profesi guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan kesiapan hidup anak dalam berbagai situasi.
Sisi lain yang juga penting adalah tanggung jawab media massa dalam menyampaikan informasi. Erupsi Semeru 2025 menunjukkan adanya kebutuhan akan pemberitaan yang akurat, tidak sensasional, dan tidak menimbulkan panik. Media memiliki peran besar dalam memengaruhi persepsi publik. Ketika informasi keliru atau terlalu dramatis, masyarakat dapat salah mengambil keputusan. Sebaliknya, ketika informasi disampaikan dengan jelas dan didukung data resmi, masyarakat dapat lebih cepat merespons situasi.
Dalam konteks tata kelola kebencanaan, peran pemerintah daerah dan pusat tentu tidak dapat dipisahkan. Namun, tantangan terbesar kita sebenarnya bukan semata pada kapasitas lembaga, tetapi pada bagaimana kebijakan itu diterjemahkan hingga mencapai masyarakat. Misalnya, jalur evakuasi kadang tidak terpelihara dengan baik, sistem peringatan dini tidak terdengar jelas, atau pos pengungsian tidak cukup menampung warga dalam jumlah besar. Ini adalah problem struktural yang memerlukan evaluasi menyeluruh. Dari sisi teoritis, konsep kerentanan sosial dalam sosiologi sangat relevan dengan situasi yang terjadi di Semeru. Kerentanan sosial mengacu pada kondisi ketika individu atau kelompok memiliki keterbatasan dalam menghadapi risiko.
Dalam konteks erupsi Semeru, warga yang menggantungkan hidup pada lahan pertanian dan peternakan berada dalam posisi yang lebih rentan karena kehilangan sumber penghidupan ketika terjadi bencana. Teori ini membantu menjelaskan mengapa beberapa kelompok masyarakat lebih sulit bangkit setelah bencana dibandingkan kelompok lainnya. Sementara dari perspektif antropologi, konsep ikatan budaya dengan ruang hidup juga sangat tampak. Masyarakat di lereng Semeru memiliki hubungan emosional dan historis dengan tanah yang mereka tempati. Tanah dianggap sebagai warisan leluhur yang tidak hanya menyimpan nilai ekonomi, tetapi juga identitas budaya dan sosial keluarga. Oleh karena itu, meskipun relokasi menjadi solusi aman, banyak warga masih bertahan karena nilai budaya yang melekat pada ruang hidup mereka. Pemahaman antropologis seperti ini sangat penting agar kebijakan pemerintah tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan dimensi kultural masyarakat.
Erupsi Semeru juga mengajarkan bahwa solidaritas sosial masyarakat Indonesia masih sangat kuat. Banyak relawan bergerak cepat, kelompok pemuda membuka dapur umum, serta berbagai organisasi masyarakat memberikan bantuan logistik. Ini adalah modal sosial yang harus terus dipelihara. Namun, solidaritas saja tidak cukup. Kita membutuhkan sistem yang terencana agar setiap bantuan tepat sasaran dan benar-benar membantu pemulihan warga.
Pada akhirnya, erupsi Semeru 19 November 2025 adalah peringatan bahwa bencana tidak bisa kita hadapi dengan pola lama. Ancaman alam akan terus ada, tetapi dampak sosialnya dapat ditekan jika kita mengubah cara pandang. Bencana bukan sekadar fenomena geologis, tetapi cermin dari kesiapan sosial kita. Pemerintah, akademisi, media, dan masyarakat harus bergerak bersama membangun budaya sadar bencana. Tanpa itu, setiap erupsi berikutnya hanya akan mengulang cerita yang sama: kepanikan, kerugian, dan duka yang seharusnya bisa dihindari.
Melalui momentum ini, kita perlu menegaskan bahwa mitigasi bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Kita bisa mulai dari langkah kecil: memahami peta rawan, mengikuti arahan petugas, memperkuat jaringan sosial desa, serta mengedukasi anak-anak sejak dini. Dengan begitu, kita bukan hanya bereaksi ketika bencana tiba, tetapi benar-benar mempersiapkan diri.
Semeru mengingatkan kita bahwa hidup di tanah penuh gunung api bukanlah kutukan, tetapi tanggung jawab untuk terus belajar dan beradaptasi. Selain berbagai persoalan sosial yang muncul saat erupsi Semeru 19 November 2025, kita juga perlu melihat bahwa bencana alam seperti ini sebenarnya membuka ruang untuk mengevaluasi sejauh mana sistem penanganan bencana di Indonesia bekerja.
Dalam beberapa kasus, proses evakuasi masih mengalami kendala karena kondisi geografis yang sulit dijangkau dan keterbatasan sarana transportasi darurat. Banyak warga yang berada di pemukiman terpencil harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk mencapai titik kumpul yang relatif aman. Situasi ini menunjukkan bahwa infrastruktur penanggulangan bencana masih memerlukan peningkatan signifikan.
Dari perspektif pendidikan masyarakat, literasi bencana juga memegang peranan kunci. Pemahaman masyarakat tentang jenis-jenis letusan, potensi bahaya abu vulkanik, arah luncuran awan panas, serta dampak jangka panjang terhadap kesehatan sering kali belum merata. Padahal, wilayah-wilayah seperti Lumajang dan sekitarnya sudah berkali-kali mengalami letusan Semeru. Pentingnya literasi bencana bukan hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi juga membentuk pola pikir yang lebih siap menghadapi perubahan cepat saat situasi darurat. Pendidikan yang diberikan secara berkelanjutan melalui sekolah, balai desa, kelompok tani, komunitas ibu-ibu PKK, hingga lembaga keagamaan dapat menjadi jembatan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara luas.
Aspek lain yang patut diperhatikan adalah pemulihan pascabencana. Banyak warga kehilangan rumah, lahan pertanian rusak, dan hewan ternak mati. Proses pemulihan ini memerlukan pendampingan yang tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pemulihan psikologis. Anak-anak, misalnya, sering kali mengalami trauma setelah menyaksikan erupsi besar. Mereka membutuhkan ruang aman dan pendampingan emosional. Begitu pula para orang tua yang kehilangan mata pencaharian. Pemulihan ekonomi tidak bisa berjalan dengan cepat karena lahan mereka tertutup abu atau rusak akibat awan panas. Selain warga yang terdampak langsung, sektor pendidikan juga terkena imbasnya. Banyak sekolah di wilayah rawan terpaksa menghentikan kegiatan belajar karena ruang kelas tertutup abu dan akses menuju sekolah tidak aman. Kondisi ini mengingatkan kita bahwa bencana bukan hanya memengaruhi masyarakat secara fisik, tetapi juga merusak proses sosial jangka panjang, termasuk pendidikan generasi muda. Pemerintah daerah perlu memiliki rencana pembelajaran darurat agar hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan tetap terjaga meski berada dalam situasi krisis.
Di sisi lain, peran lembaga riset dan universitas sangat penting dalam membaca pola aktivitas Semeru. Kajian ilmiah mengenai pergerakan magma, struktur geologi gunung, serta perubahan aktivitas kawah seharusnya dipublikasikan dalam bahasa yang lebih mudah dipahami masyarakat. Kolaborasi antara akademisi dan pemerintah dapat meningkatkan efektivitas peringatan dini serta mengurangi kesalahpahaman publik mengenai status gunung api.
Selain itu, hasil kajian ilmiah dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan jangka panjang, termasuk penataan ruang dan relokasi warga di zona merah yang benar-benar tidak aman untuk dihuni. Apa yang terjadi pada erupsi Semeru tahun 2025 juga menunjukkan bahwa mitigasi bencana perlu dilihat sebagai investasi, bukan sekadar pengeluaran. Ketika negara menyiapkan sistem mitigasi yang kuat – mulai dari jalur evakuasi yang memadai, papan informasi yang jelas, hingga sirine peringatan dini yang teruji – maka kerugian yang ditimbulkan dapat ditekan secara signifikan. Banyak negara telah terbukti mampu mengurangi jumlah korban bencana melalui kesiapsiagaan masyarakat yang tinggi dan kebijakan mitigasi yang terencana. Namun kenyataannya, banyak masyarakat Indonesia masih memandang bencana sebagai takdir yang tidak dapat diubah. Padahal meski penyebabnya memang fenomena alam, dampaknya dapat sangat dipengaruhi oleh aspek sosial. Warga yang tidak memiliki pilihan tempat tinggal, pendidikan yang terbatas, dan akses informasi yang minim cenderung menjadi kelompok yang paling terdampak. Dengan memahami hal ini, kita diingatkan bahwa bencana bukan hanya soal geologi, tetapi juga soal keadilan sosial.
Erupsi Semeru 2025 juga memperlihatkan betapa pentingnya membangun kepercayaan antara masyarakat dan lembaga pemerintah. Ketika warga merasa informasi pemerintah terlalu teknis, atau ketika mereka pernah mengalami pengalaman buruk dalam proses evakuasi sebelumnya, mereka cenderung mengabaikan imbauan keselamatan. Kepercayaan ini perlu dibangun melalui komunikasi yang jujur, terbuka, dan konsisten. Pemerintah perlu hadir di tengah masyarakat bukan hanya saat bencana terjadi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari melalui program pembinaan, penyuluhan, dan pendampingan rutin.
Pada akhirnya, erupsi Semeru pada 19 November 2025 adalah momentum besar untuk memperbaiki banyak aspek penanganan bencana di Indonesia. Dari tata kelola informasi, pendidikan masyarakat, kesiapsiagaan relawan, hingga penataan ruang dan pembangunan infrastruktur desa – semuanya menjadi bagian penting yang harus dibenahi secara berkelanjutan. Semeru memberi kita peringatan bahwa alam memiliki kekuatan besar, tetapi manusia memiliki kemampuan untuk belajar, memprediksi, dan meminimalkan risiko. Dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan media, kita dapat membangun lingkungan hidup yang lebih aman dan siap menghadapi segala kemungkinan.(bgn003)25112511