DPRD Bali dan Pemprov Gelar Rakor Cegah Bencana

Denpasar, Baliglobalnews

Pemerintah Provinsi Bali dan DPRD Bali menggelar rapat koordinasi lintas instansi di Denpasar pada Rabu (1/10/2205) dengan sejumlah instansi terkait. Rapat dipimpin Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya didampingi Wakil Ketua I I Wayan Disel Astawa.

Kepala BPBD Bali I Gede Agung Teja Bhusana Yadnya menyampaikan berdasarkan data BPBD Bali, banjir pada 10 September lalu melanda di sembilan kabupaten/kota di Bali dengan 159 desa/kelurahan terdampak. Kerusakan yang ditimbulkan meliputi 856 rumah, 133 sarana perekonomian, 88 tempat ibadah, 20 fasilitas umum, 116 jalan, 12 jembatan, 16 jaringan sumber daya air, 24 satuan pendidikan, satu fasilitas kesehatan, dan tiga prasarana lingkungan. “Banjir kemarin juga menimbulkan korban jiwa dengan empat orang hilang, satu orang luka berat, serta ribuan warga mengungsi. Jumlah pengungsi terbanyak tercatat pada 11 September sebanyak 812 orang,” katanya.

Banjir dipicu oleh curah hujan ekstrem di wilayah Bali, dengan data BMKG Wilayah III menunjukkan intensitas mencapai 390 milimeter per hari di daerah tangkapan air Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung. Kondisi ini diperburuk dengan pasang laut maksimum 2,61 meter di perairan Benoa pada 9 September dan surut terendah 0,24 meter pada 10 September pagi, yang berkontribusi pada meluapnya air di wilayah pesisir.

Teja mengagendakan mitigasi ke depan mencakup penanganan secara struktural dan nonstruktural. Mitigasi struktural meliputi normalisasi sungai, pembangunan tanggul, reboisasi, penataan sempadan, pembuatan sodetan, biopori, pengelolaan sampah, dan pembangunan sistem peringatan dini. Sedangkan mitigasi non-struktural mencakup pembaruan regulasi, penegakan hukum, sosialisasi, dan edukasi masyarakat.

Kepala BWS Bali-Penida Gunawan Suntoro menyebutkan saat ini tengah mengukur ulang debit air Tukad Badung dan Tukad Mati untuk memastikan kapasitas sungai masih mampu menampung limpahan air. BWS juga akan mengidentifikasi bangunan melintang di aliran sungai yang berpotensi menghambat aliran. “Kedepan kajian sempadan sungai itu butuh waktu karena kami harus mengukur dan melihat history aliran sungai serta melibatkan banyak stakeholder,” katanya.

Sebagai langkah jangka panjang, kata dia, BWS menyiapkan rencana normalisasi alur sungai dan drainase, pembangunan long storage di Tukad Badung Hulu dan Tukad Mati, serta retarding basin di Tukad Mati untuk menampung debit banjir berlebih sekaligus menjaga ketersediaan air tanah. Pembangunan sodetan sungai juga dipertimbangkan untuk mengalihkan debit ke sungai lain yang kapasitasnya masih mencukupi.

Selain itu, penghapusan saluran irigasi lama yang sudah tidak berfungsi akan dilakukan karena kerap berperan sebagai hambatan drainase di kawasan permukiman. Kajian teknis rencana ini akan dimulai pada 2026.

Sementara Plt Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) I Made Rentin menyampaikan upaya pencegahan juga akan dilakukan melalui penghijauan bantaran sungai bersama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS).

Dalam paparannya, dia senada bahwa banjir di Bali tidak hanya dipicu curah hujan ekstrem, tetapi juga akibat berkurangnya tutupan hutan, alih fungsi lahan, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), sistem drainase yang terganggu, hingga timbulan sampah yang mencemari aliran air.

Berdasarkan data, luas daratan Bali mencapai 563.666 hektare, dengan kawasan hutan seluas 136.827 hektare atau sekitar 24,27 persen. Namun, hingga tahun 2024, tutupan hutan di Bali hanya tersisa 25,27 persen. Angka ini jauh dari kebutuhan minimal ekologis sebesar 30 persen untuk menjaga keseimbangan tata air. Tren penurunan tutupan hutan terutama terlihat di luar kawasan hutan, dari 59 ribu hektare pada 2017 menyusut menjadi hanya 45 ribu hektare pada 2024.

Alih fungsi lahan menjadi faktor dominan penyebab kerusakan DAS. Kawasan yang semula berfungsi sebagai daerah resapan berubah menjadi permukiman, perhotelan, industri, maupun pertanian intensif. Penebangan pohon, pembangunan jalan dan infrastruktur tanpa sumur resapan, hingga pola pertanian yang tidak ramah lingkungan memperparah erosi dan sedimentasi. “Pembuangan sampah ke sungai juga turut mempersempit aliran air dan merusak ekosistem,” katanya.

Untuk langkah yang sudah ditempuh, kata dia, rehabilitasi hutan dan lahan kritis dilakukan melalui program reboisasi dan penghijauan dengan melibatkan kelompok perhutanan sosial. Gerakan penanaman bersama juga dilakukan di hulu dan hilir DAS Ayung, termasuk bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Bali. Tahun 2024, kelompok perhutanan sosial bahkan telah melakukan reboisasi di kawasan seluas 576,94 hektare dengan 230.779 bibit pohon.

Selain itu, kata dia, upaya menambah luasan hutan dilakukan melalui skema hutan adat. Saat ini sudah ada enam hutan adat di Bali dengan luas total 971 hektare, dan pada 2025 telah diverifikasi pengajuan tiga hutan adat baru. “Jadi langkah strategis lanjutan kami antara lain, memperkuat rehabilitasi hutan dan lahan kritis, penegakan hukum tata ruang untuk mencegah alih fungsi lahan, pembangunan sumur resapan, biopori, embung desa, dan perluasan ruang terbuka hijau di perkotaan. Pengelolaan sampah harus terintegrasi dengan memperkuat peran desa adat, sementara edukasi lingkungan perlu digalakkan sejak dini melalui sekolah, komunitas, dan desa,” katanya.

Hadir pula Ketua Komisi I DPRD Bali I Nyoman Budiutama, Ketua Komisi II Agung Bagus Pratiksa Linggih, Ketua Komisi III I Nyoman Suyasa, Ketua Komisi IV I Nyoman Suwirta, serta Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali sekaligus anggota Komisi I I Gede Harja Astawa. (bgn008)25100113

DPRD Bali dan PemprovGelar Rakor Cegah Bencana
Comments (0)
Add Comment