Media Informasi Masyarakat

Mahasiswa dari Aliansi Bali Tidak Diam Sampaikan Lima Tuntutan di DPRD

Denpasar, Baliglobalnews

Mahasiswa dari Aliansi Bali Tidak Diam menyampaikan lima tuntutan saat menggelar aksi damai di depan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali pada Senin (17/2/2025).

Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud) I Ketut Indra Adiyasa yang memimpin aksi bersama 250 orang mahasiswa gabungan 13 fakultas di Unud serta organisasi mahasiswa lain dari berbagai kampus di Bali itu, menuntut pemerintah untuk mencabut Inpres Nomor 1 Tahun 2025 serta Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 yang mengatur efisiensi anggaran kementerian dan lembaga. “Kami menuntut agar pemerintah segera mengkaji ulang program makan siang bergizi gratis dan menempatkan sektor pendidikan serta kesehatan sebagai prioritas utama dalam kebijakan anggaran negara,” kata Ketut Indra ketika berorasi.

Dia mendesak pemerintah untuk segera membayarkan dan menganggarkan tunjangan kinerja dosen atau tukin yang belum dibayarkan. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memenuhi hak dosen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Dia juga menolak keterlibatan perguruan tinggi dalam mengurus izin tambang, sebagaimana diatur dalam pembaharuan Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba). “Perguruan tinggi seharusnya berfokus pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, bukan pada urusan perizinan tambang yang dapat mengalihkan fungsi utama institusi pendidikan,” jelasnya.

Tuntutan selanjutnya, yakni meminta Presiden Prabowo melakukan pemerataan pendidikan melalui akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat Indonesia, demi terwujudnya cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Demikian juga salah satu peserta aksi, Firmansyah, dalam orasinya menyoroti mekanisme penyampaian aspirasi mahasiswa kepada DPRD Bali. Serta, mempertanyakan bagaimana tindak lanjut dari aksi ini, agar aspirasi tersebut benar-benar diperjuangkan.

Berdasarkan konstitusi, kata dia, negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, dengan adanya kebijakan efisiensi ini, meskipun secara teknis alokasi anggaran tetap 20 persen, namun pemotongan dalam bentuk efisiensi anggaran dapat mengurangi pendanaan untuk sektor pendidikan. Sehingga, hal ini menambahkan potensi dari kebijakan ini dapat berujung pada penghapusan beasiswa KIP-K serta kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

“Dengan efisiensi ini, potensi yang akan ada adalah penghapusan dari beasiswa pendidikan itu sendiri dan potensi naiknya UKT. Meskipun menteri keuangan sudah berkata UKT dan beasiswa bakal tetap ada. Namun surat dari Inpres dan surat Kementerian Keuangan itu masih tetap ada dan potensi itu masih ada,” tegasnya.

Firmansyah juga menyoroti pemotongan anggaran riset di bidang sains dan teknologi yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dana riset tersebut berperan penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. “Dana riset ini bertujuan menjamin dan membentuk SDM yang berkualitas, karena riset di indonesia sendiri masih minim,” ucapnya.

Dibandingkan dengan negara lain, kata dia, jumlah penelitian yang dihasilkan oleh Indonesia masih sangat minim, sehingga pemotongan anggaran riset hanya akan semakin memperlemah daya saing akademik Indonesia di tingkat global. (bgn008)25021715

Comments
Loading...