Media Informasi Masyarakat

Dari Pameran “Refresh” di Komaneka Gallery —- Sumadiyasa Memberi Kejutan Baru

Gianyar,Baliglobalnews

LAGU bernapaskan doa diiringi petikan gitar akustik mengalun merdu, direspons gerak tari nan indah gemulai. Kemudian, gerak modern dance menghentak, memecah keheningan sore menjelang malam.  Aplaus pengunjung galeri pun menggema. Itulah seni performs perupa I Made Sumadiyasa berkolaborasi dengan Nyoman Henni Kesari, sang istri dan putri keduanya, Made Hening Arisma Dewi dalam pembukaan pameran tunggalnya bertajuk  “Refresh” di Komaneka Gallery, Jalan Monkey Forest, Ubud, Gianyar, pada Sabtu (25/6). Kendati hujan mengguyur Ubud ketika itu, tak menyurutkan semangat para seniman dan pecinta seni hadir memberi apresiasi.

Dalam solo ekshibisi yang dibuka pemilik Komaneka Gallery, Koman Wahyu Suteja tersebut,  I Made Sumadiyasa memamerkan delapan belas karya lukisan beragam ukuran, di antaranya  ”Dialog” berukuran 150 x 200 cm, ”Dancing on the Horizon” 150 x 200 cm, ”Mountains Symphony” 150 x 350 cm, ”Motions on the Beach” 200 x 300 cm dan ”Morning Grace” 200 x 380 cm. Delapan belas karya yang berbahan kanvas dengan warna acrylic itu dibuat dalam waktu 24 jam di galeri tersebut.

Pemilik Komaneka Gallery, Koman Wahyu Suteja, mengatakan sebagai pelukis yang sudah mapan, I Made Sumadiyasa masih bisa memberi kejutan baru dalam karyanya. Dengan bertambahnya pengalaman, Made Sumadiyasa mengalami evolusi,  tidak hanya menjadi seniman individu, tapi mulai berkarya dengan melibatkan energi lain, yang berasal dari lingkungan, dan terutama keluarganya.

”Karya Made Sumadiyasa kali ini menjadi awal dari mulainya tatanan baru pasca-pandemi. Seolah menekan tombol reset, terlahir karya dengan warna segar dan komposisi yang lebih lapang sebagai cerminan dari keinginan untuk bebas dari belenggu aturan pembatasan selama ini,” ujar putra pemilik Museum Neka, Pande Wayan Suteja Neka itu.

Sementara itu melalui pameran Refresh ini, Sumadiyasa ingin merefresh sampah negativitas yang berkecamuk di kepala, kemudian diolah ke laku kreatif dan berpikir positif. Selama dua tahun lebih, dihantui covid, tapi, untuk meningkatkan imun tubuh, Sumadiyasa  harus tetap bergerak,  mengekspresikan lewat karya-karya dengan harapan tetap memberi energi semangat berkreativitas.

“Jadi kami sekeluarga dalam situasi PPKM tetap berproses, belajar menghadapi situasi yang tidak menentu, dengan tetap belajar berpikir positif dan tetap berkarya,” ujarnya.

Pameran karya Sumadiyasa kali ini,  diawali dengan living gallery di Komaneka Gallery pada tanggal 1 Juni 2022. Saat living gallery tersebut, Made Sumadiyasa memilih waktu memulai berkarya pukul 02.00 dini hari. Sebab, dalam sunyi dan ketenangan dini hari, Made Sumadiyasa merasa bisa lebih fokus dalam doa suasana Ubud yang sejuk dan tenang dalam mengekpresikan ide-idenya saat berkarya.

Dalam living gallery,  lulusan ISI Yogyakarta ini kembali mencoba belajar mengolah nafas, menyegarkan pikiran dan perasaan selama dua tahun keterpurukan PPKM akibat Covid-19.  Sumadiyasa melakukan aktivitas dengan mempererat kebersamaan dalam keluarga. Sang istri, Nyoman Henni Kesari  ikut merespons lantunan doa Sumadiyasa, dengan tarian sederhana. Kemudian anak-anaknya juga memaknai dengan latihan menari.

Kata Sumadiyasa, pada masa PPKM,  art gallery membatasi kegiatannya. Komaneka Gallery salah satu galeri seni di Jalan Monkey Forest Ubud, mempunyai gagasan mengundang para seniman di Bali untuk berkarya selama 24 jam. Kemudian hasil karya seniman dipamerkan sebulan penuh.  Ia salah satu perupa yang diberi kesempatan untuk itu.

Memang, pada masa pandemi, pelukis asal Lalanglinggah, Tabanan ini tetap aktif berkarya.  Selain berkarya eksplorasi dalam karya lukisan, di sela-sela berkarya  Made Sumadiyasa dengan petikan gitar akustiknya, bernyanyi melantunkan doa-doa sederhana untuk belajar terhubung kepada Hyang Kuasa, mensyukuri berkah dan energi semesta yang selalu mengalir, namun sering tidak disadari. Hasil lantunan puja dan doa-doa sederhana itu terangkum dalam album ll Berkarma–(bernyanyi, berkarya dan lantunkan mantra). Dalam album Berkarma ini Made Sumadiyasa duet dengan Wayan Balawan, maestro gitaris dari Batuan Bali. Album Berkarma itu disupport oleh sastrawan dokter Dewa Putu Sahadewa, pendiri Dedari Art Institute, yang dilaunching tahun lalu di Geoks Singapadu milik I Wayan Dibia.

Dalam khasanah senirupa Indonesia, nama I Made Sumadiyasa tak asing lagi. Gaya lukisannya yang abstrak ekspresionis, mencatatkan namanya sebagai salah satu pelukis papan atas Indonesia. Banyak karyanya telah menghiasi galeri dan museum seni di Bali. Banyak pula dikoleksi oleh pecinta seni mancanegara. Studio lukisnya yang berada di wilayah Batuan, Gianyar, dipenuhi karyanya berukuran ekstra besar. Di studio itulah, ayah dari Luh Putu Dimas Virgantini, Made Hening Arisma Dewi, dan Nyoman Arum Puspa Wedanti ini, sehari-harinya berkarya. Sumadiyasa merupakan salah satu perupa Bali yang sejak usia muda telah merambah dunia internasional. Pencerapannya atas alam, menjadikan Sumadiyasa sosok yang asketik dan inheren terhadap nafas alam. Sumadiyasa intens membicarakan alam secara kreatif lewat karya-karyanya. Dengan karya-karya abstrak ekspresionistik itu, pada awal dekade 1990, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini, telah mengejutkan publik dan memperoleh apresiasi internasional. Saat mahasiswa, pada tahun 1995, ia telah diundang dalam pameran Art Asia, International Fine Art Exhibition, cikal bakal Art Basel Hongkong. Salah satu karyanya dijadikan cover majalah Asian Art News, sebuah media seni penting di kawasan Asia (1996). (bgn003)22062801

Comments
Loading...