Tabanan, Baliglobalnews
Ribuan wisatawan mancanegara dan domestik kunjungi Festival Jatiluwih yang berlangsung dua hari (pada 19-20 Juli 2025). Festival kali ini, dapat wahana edukasi bagi wisatawan yang ingin melihat kearifan lokal agraris masyarakat Bali.
“Kami berharap festival kali ini 7.000 pengunjung tercapai. Dimana, festival ini juga mengedukasi masyarakat lokal agar kembali pada warisan leluhur dan hidup selaras dengan alam. Selain itu, wisatawan yang datang, semakin besar tanggung jawab kita menjaga alam,” kata Manajer DTW Jatiluwih, John Ketut Purna, dalam keterangan persnya pada Minggu (20/7/2025).
Dia menjelaskan dalam festival kali ini sejumlah atraksi baru, termasuk tarian maskot hasil kolaborasi dengan ISI Bali, serta kostum monumental Dewi Sri dan Jatayu. Dewi Sri, kata dia, simbol kesuburan dan kemakmuran masyarakat agraris Bali, mendapat penghormatan khusus tahun ini melalui pembangunan patung setinggi lima meter dari bahan-bahan alami. “Patung ini, dibangun dalam waktu tiga bulan, yang menjadi ikon utama Festival Jatiluwih 2025,” katanya.
Dalam kegiatan tersebut, kata John, hampir 99 persen warga lokal dalam seluruh aspek penyelenggaraan. Dari seniman, pengisi acara, hingga tim produksi, semuanya berasal dari Jatiluwih. Sehingga, perputaran ekonomi kembali ke masyarakat, baik petani maupun seniman lokal.
Pria yang akrab disapa John ini menambahkan, festival tahun ini mengusung tema “Grow with Nature” atau “Tumbuh Bersama Alam”, sebagai pengingat pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan lingkungan.
Apalagi, Desa Jatiluwih juga telah mengukir prestasi dengan berhasil dinobatkan sebagai Desa Wisata Terbaik Dunia 2024 oleh United Nations Tourism. Sehingga, festival kali ini menjadi istimewa dan diharapkan menjadi day tarik wisatawan mancanegara.
Festival ini berlangsung di tengah bentangan sawah terasering yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO. Lebih dari sekadar perayaan budaya.
Sementara Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya menyatakan dukungan penuh terhadap festival ini. Dia menegaskan pentingnya menjaga roh budaya agraris Bali melalui pelestarian tradisi seperti ‘nengale” (melihat sawah), “nyekap” (mengolah lahan), dan “numu” (memanen padi). “Pariwisata hanyalah bonus. Yang utama adalah menjaga kearifan lokal yang telah diwariskan ribuan tahun,” katanya.
Sanjaya juga mendorong penguatan perlindungan lahan pertanian melalui pemetaan zonasi dan peraturan desa adat seperti “perarem” agar lahan Jatiluwih tidak mudah beralih fungsi.
Festival Jatiluwih 2025 diharapkan bukan hanya sebagai ajang hiburan, tetapi juga sebagai wahana refleksi dan inspirasi bagi pembangunan pariwisata yang berpijak pada keberlanjutan, budaya, dan kearifan lokal. (*/bgn008)25072109