Denpasar, Baliglobalnews
Empat fraksi di DPRD Provinsi Bali menyampaikan pandangan umum terkait dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dalam rapat paripurna ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung Wisma Sabha Kantor Gubernur Bali, Denpasar, pada Rabu (15/10/2025).
Sidang dipimpin Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya didampingi Wakil Gubernur Bali I Nyoman Giri Prasta, Wakil Ketua I DPRD I Wayan Disel Astawa, Wakil II Ida Gede Komang Kresna Budi itu, fraksi-fraksi menyampaikan pandang umum dewan terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2026, serta Raperda tentang Penyertaan Modal Daerah pada Perseroan Daerah (Perseroda) Pusat Kebudayaan Bali (PKB).
“Kami mengapresiasi langkah Gubernur Bali menyampaikan kedua Raperda tersebut. Fraksi Berlogo Banteng ini menilai rancangan APBD 2026 telah sesuai prinsip good financial governance, dengan perencanaan yang realistis, rasional, dan berbasis kemampuan fiskal daerah,” kata Ni Made Sumiati membacakan PU Fraksi PDI Perjuangan (PDIP).
Fraksi PDIP menekankan penyusunan APBD Semesta Berencana 2026 harus senapas dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan kebudayaan. “Perencanaan anggaran daerah harus berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat dan kemampuan keuangan daerah yang riil,” ujar Sumiati.
Dia menegaskan pentingnya pengawasan DPRD agar pengelolaan anggaran dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Terkait penyertaan modal pada Perseroda PKB, Fraksi PDIP menyatakan dukungan. Meski demikian, mereka juga menyoroti polemik pembangunan proyek Pusat Kebudayaan Bali yang dinilai masih kurang transparan kepada masyarakat.
Untuk itu, Fraksi PDIP menekankan pentingnya pemerintah daerah memberikan penjelasan dan penyebarluasan informasi yang memadai agar proyek besar ini tidak menimbulkan kesalahpahaman publik. “Kebijakan besar yang menyangkut aset budaya dan ekonomi masyarakat Bali harus dibangun atas semangat tanggung jawab kolektif, sebagai wujud pengabdian untuk kemajuan bersama,” tegasnya.
Fraksi Golkar melalui juru bicara Ni Putu Yuli Artini juga melayangkan kritik tajam terhadap dua raperda tersebut. Fraksi menyoroti penurunan target pendapatan daerah dari Rp4,2 triliun pada APBD Perubahan 2025 menjadi Rp3,9 triliun pada 2026, yang dinilai menunjukkan pesimisme ekonomi pemerintah. Golkar juga mempertanyakan turunnya kontribusi dari PT BPD Bali, PT Jamkrida Bali Mandara, dan RS Puri Raharja yang ikut menurunkan hasil pengelolaan kekayaan daerah.
Sorotan lain tertuju pada pungutan wisatawan asing (PWA) yang hanya dianggarkan Rp375 miliar, padahal dengan 5-6 juta wisatawan asing per tahun dan tarif Rp150 ribu per orang, potensi bisa mencapai Rp750 miliar – Rp900 miliar. “Ada ketidaksesuaian yang perlu dijelaskan oleh pemerintah,” katanya.
Dia juga mengingatkan Pemprov Bali agar tidak mengurangi anggaran belanja tidak terduga sebesar Rp50 miliar yang dinilai penting untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana. Dalam pembahasan Raperda tentang Penyertaan Modal Daerah pada Perseroda Pusat Kebudayaan Bali, Fraksi Golkar menilai rencana penyertaan modal sebesar Rp1,4 triliun masih belum disertai kajian transparan mengenai sumber pendapatan dan penggunaan dana. Meski secara analisis finansial dinilai layak dengan IRR 48,21%, BCR 2,4 kali, dan NPV Rp 5 triliun, Yuli menyebut tidak adanya penjelasan mengenai asumsi, proyeksi, serta perhitungan detail penggunaan modal membuat rencana ini ‘kurang meyakinkan hasilnya’. “Penyertaan modal ini dilematis. Jika tidak dilakukan, aset tanah pemerintah senilai Rp5 triliun menjadi pasif. Namun bila dilakukan tanpa kejelasan perencanaan, berpotensi menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari,” katanya.
Fraksi Gerindra-PSI dibacaka Gede Harja Astawa mengatakan dengan proyeksi itu akan menimbulkan defisit sebesar Rp759,16 miliar ditambah pengeluaran pembiayaan sebesar Rp243,46 miliar. “Maka sesungguhnya total kekurangan sumber pendanaan tahun 2026 menjadi sebesar Rp 1,002 triliun yang akan ditutup dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Tahun 2025,” jelasnya.
Fraksi ini menilai Raperda APBD 2026 belum sepenuhnya mengacu pada Permendagri No. 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD. Mereka menyoroti postur keuangan yang dianggap terlalu optimistis, terutama terkait proyeksi SiLPA Rp1 triliun yang dijadikan sumber pembiayaan defisit. “Anggaran haruslah perkiraan realistis yang dapat dicapai, bukan semata-mata keseimbangan penerimaan dan pengeluaran,” tegas Harja Astawa.
Terakhir Fraksi Demokrat-NasDem yang pandangannya dibacakan I Komang Wirawan, turut menyoroti penurunan target PAD 2026 sebesar Rp3,9 triliun dari Rp4,2 triliun tahun sebelumnya. Fraksi menilai kebijakan ini menunjukkan pesimisme terhadap kemampuan fiskal daerah.
Selain itu, fraksi juga menyoroti adanya perkiraan sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA) tahun 2025 sebesar Rp1 triliun dan rencana pinjaman daerah Rp530 miliar yang akhirnya tidak jadi digunakan, sehingga timbul surplus sekitar Rp1,5 triliun. Fraksi meminta penjelasan rinci dari pemerintah terkait sumber dan perhitungan keuangan tersebut.
Terkait penyertaan modal Perseroda PKB, fraksi ini mendukung langkah diversifikasi sumber PAD, tetapi mendorong agar kepemilikan saham melibatkan seluruh kabupaten/kota se-Bali agar manfaat ekonominya merata.
Fraksi Demokrat-NasDem menekankan pentingnya penggunaan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) secara penuh untuk perbaikan jalan provinsi. “Agar masyarakat merasa kontribusinya melalui pajak benar-benar dirasakan,” tegas Wirawan.
Dalam Raperda APBD 2026 yang diajukan Gubernur Bali Wayan Koster sebelumnya, pendapatan daerah diproyeksikan mencapai Rp5,3 triliun. Dengan rincian pendapatan asli daerah Rp3,90 triliun, pendapatan transfer Rp1,40 triliun, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp5,74 miliar. Kemudian, belanja daerah 2026 direncanakan Rp6,07 triliun terdiri dari belanja operasi Rp4,74 triliun, belanja modal Rp473,03 miliar, belanja tidak terduga (BTT) Rp50 miliar, dan belanja transfer Rp807,38 miliar.
Di sisi lain, pemerintah juga mengusulkan penyertaan modal bertahap sebesar Rp1,4 triliun kepada Perseroda PKB selama periode 2026-2028.
Analisis investasi senilai Rp3,27 triliun yang disebut dalam Raperda menghasilkan indikator ekonomi positif seperti IRR 48,21% dan payback period 6,8 tahun juga dinilai tidak disertai data kuantitatif yang cukup. Fraksi ini menilai kajian investasi seharusnya mencakup aspek hukum, sosial, ekonomi, hingga keuangan, agar tidak menimbulkan risiko penggunaan dana publik yang tidak akuntabel. (bgn008)25101516