Alih Fungsi Lahan dan Kepemilikan Lahan Oleh WNA di Bali Jadi Sorotan

Denpasar, Baliglobalnews

Dampak maraknya alih fungsi lahan di Bali dan adanya kepemilikan lahan oleh warga negara asing di Pulau Bali menjadi sorotan, saat diskusi publik yang digelar Forum Peduli Bali, di Denpasar, pada Rabu (26/1/2025).

Diskusi yang bertajuk Konflik Pertanahan di Bali: Dinamika Alih Fungsi Lahan dan Solusinya tersebut, menghadirkan tiga narsum yakni Ketua Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus Trap) DPRD Bali I Made Supartha, Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali Ni Made Indrawati, serta aktivis Dr Agus Samijaya. “Pansus Trap akan terus menjalankan kewenangannya untuk memastikan tata ruang dan perizinan tidak dikuasai kepentingan tertentu. Ia menekankan perlunya keseragaman persepsi antara aparat, penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat agar pelanggaran bisa ditangani tegas,” kata Ketua Pansus Trap DPRD Bali I Made Supartha.

Dia mengatakan alih fungsi lahan yang meluas setelah pandemi, padahal mekanisme pengendalian telah diatur melalui UU No. 41 Tahun 2009 dan PP No. 1 Tahun 2011. Fenomena ini disebabkan, cara pikir pemilik modal yang hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ruang. “Saya contohkan, pokoknya punya uang, suka-suka saya mau beli apa. Ini sangat pragmatis sehingga melakukan eksploitasi ruang Bali tanpa memperhitungkan lingkungan maupun masa depan,” katanya.

Selain maraknya alih fungsi lahan, berlarut-larutnya konflik agraria juga disorot sebagai masalah yang sama gentingnya. Supartha menegaskan persoalan pertanahan Bali makin pelik, contohnya munculnya tamu-tamu asing dengan kekuatan finansial yang tidak terbatas. Menurutnya, arus modal besar baik yang bersumber dari dana legal maupun tidak membuat Bali seolah dapat dibeli tanpa kendali.

Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini mengingatkan regulasi nasional sebenarnya sudah mengatur tegas larangan kepemilikan tanah oleh orang asing melalui Undang-Undang Pokok Agraria maupun ketentuan penanaman modal asing (PMA). “Penggunaan skema investasi tertentu hingga praktik nominee menjadi bentuk penyelundupan hukum yang kerap dimanfaatkan untuk menyiasati celah regulasi,” katanya.

Suparta menegaskan keberadaan SEMA No. 10/2020 sebenarnya telah menutup celah kepemilikan properti oleh pihak asing, namun praktik pengalihan kendali aset tetap marak. Menurut dia, pengawasan tak cukup mengandalkan lembaga, melainkan juga masyarakat sebagai pihak yang paling dekat dengan ruang hidupnya. Undang-Undang Penataan Ruang, Undang-Undang Pesisir, dan Undang-Undang Lingkungan Hidup semuanya mengamanatkan partisipasi publik.

Sementara aktivis dan pengacara Agus Samijaya melihat maraknya alih fungsi lahan dan konflik berkepanjangan sebagai persoalan struktural yang berakar pada kebijakan nasional hingga desain politik agraria. Dia menyampaikan berdasarkan data BPS setiap tahun ada hampir 700-1.000 hektare tanah sawah produktif beralih fungsi, disusul sekitar 460 hektare kawasan hutan mengalami perubahan peruntukan. Kondisi ini disebut sangat mengkhawatirkan untuk wilayah sekecil Bali. Industri pariwisata menjadi penyedot terbesar, mencapai 30-40 persen, sementara sektor perumahan berada di kisaran 20-25 persen. “Sebagai solusi, saya mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan Bank Tanah,” katanya.

Menurut dia, lembaga tersebut harus direkonstruksi agar kewenangannya benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memfasilitasi investasi semata. “Selain itu, perlunya memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengawasan ruang. Ia menilai awig-awig desa adat bisa ditempatkan dalam regulasi tingkat provinsi, termasuk dalam Perda Tata Ruang maupun RDTR,” katanya.

Ditambahkan, Ketua KPA Bali Ni Made Indrawati menilai persoalan agraria bukan hanya soal kepemilikan, tetapi juga soal keadilan ruang dan pengakuan atas hak masyarakat. Lemahnya keberpihakan terhadap petani membuat mereka semakin tertekan di tengah masifnya investasi yang mengincar lahan produktif. Menurutnya, kondisi ini menunjukkan lemahnya pelaksanaan reforma agraria di Bali. “Perlunya keberpihakan pemerintah dalam menata ulang struktur penguasaan tanah, terutama ketika sebagian besar petani justru semakin terdesak oleh logika pasar dan pemodal besar. Di sinilah isu alih fungsi lahan, lemahnya pengawasan, dan ketimpangan akses terhadap ruang saling berkaitan,” katanya.

Dia menyampaikan perkembangan penting dari advokasi KPA Nasional pada 24 September 2025 di DPR RI. Dari ratusan konflik agraria yang didorong ke tingkat pusat, parlemen sepakat membentuk Pansus percepatan penyelesaian konflik agraria sekaligus mendorong pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria.

Menurut dia, badan itu diperlukan karena peraturan presiden tentang reforma agraria sebelumnya hanya bersifat fasilitatif dan tidak memiliki kekuatan eksekusi. “Kami mendorong DPRD Provinsi Bali juga membentuk Pansus Percepatan Penyelesaian Konflik Pertanahan di Bumi Bali. Kalau benar-benar komit menjaga Bali, petaninya dulu yang dibereskan, jangan mengutamakan pihak tertentu,” tegasnya.

Selain itu, pihaknya meminta agar lembaga legislatif daerah membentuk Pansus khusus penyelesaian konflik pertanahan di Bumi Bali, sehingga kasus-kasus yang menahun bisa segera dipetakan kembali dan ditangani secara serius. (bgn008)25112616

denpasar
Comments (0)
Add Comment