PP tentang Pengurusan Piutang Negara Harus Diuji Materi ke MA
Denpasar, Baliglobalnews
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara Oleh Panitia Urusan Piutang Negara yang dianggap sebagian kalangan inkonsisten dengan peraturan pada tingkatan yang berbeda harus diuji materi ke Mahkamah Agung (MA). Lahirnya PP Nomor 28/2022 jika dianggap terlambat tidak akan masalah akan tetapi sepanjang isinya bertentangan dengan nilai keadilan maka layak digugat publik.
Hal itu diungkapkan I Dewa Gede Palguna (Hakim Konstitusi periode 2003-2008 dan 2015-2020) ketika menjadi narasumber dalam diskusi publik bertajuk Perspektif Keadilan Dalam Pandangan Hukum dan Budaya, yang diselenggarakan Lembaga Survei Nusakom Pratama Institut di Denpasar, pada Jumat (18/8/2023).
Hadir pula sebagai narasumber Direktur LBH Bali Woman Crisis Cente yang juga pengamat budaya, Ni Nengah Budawati serta pengamat politik, Ari Junaedi selaku moderator.
“Dengan munculnya PP Nomor 28/2022 saya sering bingung apakah teori-teori hukum masih berlaku sekarang ini? Dari legal struktur sebetulnya perangkat hukum kita sudah memadai. Dalam hal legal kultur, kita sangat lemah karena budaya permisif demikian juga legal substances kita juga mengenal adanya kompromi politik yang bisa mengatasi persoalan hukum. PP Nomor 28/2022 jika bertentangan dengan undang-undang di atasnya bisa dibawa ke Mahkamah Agung,” katanya.
Bagi pendiri Forum Merah Putih itu, harusnya negara memiliki constistusional complaint atau Verfassungbeschwerde seperti di Jerman, untuk mengadukan persoalan hukum seperti munculnya PP Nomor 28/2022. Norma undang-undang yang baik harusnya dimulai dari awal pembentukkannya, sehingga aturan turunannya bisa dikontrol.
Sementara Budawati mengatakan budaya leluhur bangsa meninggalkan ajaran dan pola sikap untuk berbuat baik, menolak berbuat salah serta mengagungkan keselarasan alam dan isinya. “Budaya adiluhung kita begitu menghormati tata krama yang baik dan mengajarkan adanya kehidupan setelah kematian. Hidup selama kehidupan dan hidup usai kematian harus terus mengedepankan kebaikan,” katanya.
Budawati menyatakan produk hukum yang tidak berpijak kepada aspek psikologis, sosial serta budaya maka keberlakuannya menjadi tidak efektif. Publik pesimis dan undang-undang menjadi produk hukum yang hampa tanpa makna.
Baik Palguna maupun Budawati juga sependapat, pentingnya penegakkan hukum bagi terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dari amatan hukum dan budaya. Menurut keduanya, selama hukum belum ditegakkan, kemajuan ekonomi sebuah bangsa menjadi tidak bermakna. Demikian pula halnya dengan mengenyampingkan aspek budaya dalam proses legislasi menjadikan produk hukum yang dihasilkan menjadi hampa. (bgn008)23081805