DPRD Bali Bahas Syarat dan Aturan Ranperda ASKP
Denpasar, Baliglobalnews
Komisi II dan III DPRD Bali membahas syarat dan aturan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif Dewan tentang Penyelenggaraan Layanan Angkutan Sewa Khusus Pariwisata (ASKP) Berbasis Aplikasi di Bali pada Selasa (16/9/2025) di Ruang rapat gabungan lantai III DPRD Bali.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Bali I Wayan Disel Astawa dan Ketua Panitia pembahasan Nyoman Suyasa mengerucut soal syarat wajib ber-KTP dan bernomor polisi (Nopol) Bali bagi pengemudi angkutan pariwisata dalam Raperda inisiatif Dewan tentang Penyelenggaraan Layanan ASKP berbasis Aplikasi. “Aturan ini bukan bentuk diskriminasi ataupun rasisme, melainkan untuk memastikan kejelasan domisili dan legalitas administrasi kependudukan. Saya sangat optimis karena KTP ini, bukan berarti masalah rasis atau diskriminasi. Tapi KTP itu hanya (memperjelas bahwa yang kerja di Bali) beralamat di Bali gitu maksudnya, Jadi bedakan itu. Itu sangat sensitif jadi orang luar ya tentunya bisa bekerja di Bali. Tidak ada syarat, kayak jangka waktu harus tinggal berapa lama dulu atau apa. Tapi tentunya kan dengan mengikuti administrasi kependudukan,” ucap Ketua Komisi III DPRD Bali, I Nyoman Suyasa, usai rapat.
Dalam rapat yang dihadiri perwakilan aplikator seperti Grab, Gojek, Maxim, kata Suyasa, masukan dari aplikator juga turut diserap, terutama soal fitur aplikasi untuk menyesuaikan tarif serta penertiban driver yang belum resmi. “DPRD Bali berencana mengundang kembali aplikator setelah konsultasi ke pusat, agar regulasi daerah selaras dengan kebijakan nasional,” katanya.
Selain itu, kata dia, sejumlah isu krusial ikut dibahas mulai dari persoalan tarif, kuota kendaraan, badan hukum operator, hingga mekanisme pengawasan di lapangan. Salah satu yang paling banyak diperjuangkan forum driver adalah soal besaran tarif, baik untuk pasar lokal maupun asing, agar ada kejelasan dan persaingan usaha tetap sehat.
Soal kuota kendaraan, lanjutnya, selama ini data resmi belum jelas. Disebutkan menurut Dinas Perhubungan kuota sebanyak 20 ribu unit, namun yang terakomodasi baru sekitar 10 ribu. Kondisi ini dinilai membutuhkan kajian lebih mendalam, termasuk survei lapangan, agar penetapan kuota sesuai dengan kebutuhan riil. “Itu perlu kajian lebih mendalam lagi. Perlu survei segala macam dalam penentuan kuota,” katanya.
Terkait kelembagaan, muncul usulan agar operator berbadan hukum, baik perusahaan maupun koperasi, sehingga lebih tertata dan memiliki tanggung jawab hukum yang jelas siapa yang akan menaungi para driver ini nantinya. Suyasa menyebut usulan ini akan dibahas lebih lanjut, termasuk saat konsultasi ke Pemerintah Pusat.
Kemudian, terkait pengawasan di lapangan nanti, menurut Suyasa, perda sebagus apapun akan sia-sia bila tanpa pengawasan ketat. Karena itu, peran Dinas Perhubungan, Satpol PP, kepolisian, dan masyarakat sangat diperlukan.
Politisi Senior dari partai Gerindra ini menegaskan perda ini nantinya tidak hanya mengatur pembinaan, tetapi juga penindakan terhadap pelanggaran. Dalam draf raperda, sanksi pun dipertegas. Jika sebelumnya hanya berisi sanksi administratif, kini diatur berjenjang mulai ringan, sedang, hingga berat.
Hal ini diharapkan memberi efek jera sekaligus memperkuat penegakan aturan demi memperkuat kepastian hukum dan mendukung tata kelola transportasi pariwisata berbasis aplikasi di Bali.
“Kami di DPRD Bali berharap tata kelola angkutan sewa khusus pariwisata berbasis aplikasi menjadi lebih tertib, memberi kepastian hukum bagi driver, sekaligus menjaga kenyamanan wisatawan di Pulau Dewata,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua I DPRD Bali Disel Astawa menjelaskan, soal polemik di lapangan soal mengharuskan driver ber-KTP Bali merespon bahwa masalah ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena menyangkut kepentingan pariwisata dan kesejahteraan masyarakat lokal.
“Persoalan KTP, sanksi, hingga aturan teknis lainnya memang menjadi kekhawatiran besar para pengemudi dan aplikator. Karena itu, DPRD Bali memastikan akan memperjuangkannya melalui jalur resmi sesuai Undang-Undang tentang Provinsi Bal,” katanya.
DPRD Bali juga bersepakat untuk membawa pembahasan ke Kementerian Perhubungan dan Kementerian Dalam Negeri. Apa pun hasilnya, nantinya akan dikembalikan ke forum bersama di Bali agar bisa dirumuskan menjadi kesepakatan antara organisasi pengemudi, aplikator, dan pengguna jasa.
Terkait syarat administrasi, Disel menekankan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sebenarnya telah memberi penjelasan bahwa tidak ada persoalan sepanjang pengemudi memiliki niat baik untuk bekerja secara resmi. Dengan demikian, aturan ini bukan bentuk diskriminasi, melainkan pengaturan agar tenaga kerja memiliki kepastian hukum.
Perkembangan teknologi, menurutnya, memang membawa perubahan besar. Jika dahulu pengemudi lokal sudah terbiasa melayani wisatawan secara langsung, kini hadirnya aplikasi menimbulkan dinamika baru yang memerlukan regulasi jelas.
“Sekarang dengan adanya lahir aplikasi ini, inilah yang kita akan memperjuangkan masyarakat lokal ini agar bisa bersaing di dalam pasar itu sendiri. Maka, salah satunya adalah membicarakan terkait tarif. Ya, kita biarkan ke pusat,” jelasnya.
Selain itu, dewan juga menekankan pentingnya aspek perlindungan hukum. Aturan pidana dinilai perlu disiapkan agar ada sanksi yang jelas jika terjadi pelanggaran, terutama yang merugikan masyarakat. Sinkronisasi dengan aturan pusat, termasuk Permenhub Nomor 117, akan dilakukan agar perda yang dirumuskan tidak bertentangan.
DPRD Bali menegaskan perjuangan ini bukan sekadar formalitas, melainkan benar-benar untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Bali.
Sehingga, regulasi yang dihasilkan nantinya harus sejalan dengan kepentingan pariwisata Bali. Sertifikasi pengemudi, misalnya, dinilai penting untuk mencegah praktik ugal-ugalan yang bisa merugikan citra pariwisata. Pada saat yang sama, dewan juga tetap membuka ruang evaluasi agar aturan yang lahir tidak kaku dan bisa menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
“Kalau memang itu nanti dihapus oleh pusat, ya kami mengikuti. Tapi selama regulasi ada, tentu kita harus perjuangkan dulu agar Bali mendapat kekhususan,” jelasnya.
Sementara Koordinator FPDPB Made Darmayasa menyatakan para driver telah memeriksa draft awal raperda dan masih menemukan sejumlah hal yang perlu diperjelas. “Jadi yang kita nanti-nantikan pembatasan kuota, standar tarif, harus beli plat DK, dan standar driver. Dan itu sudah tadi dijelaskan, sudah sesuai berarti dengan keinginan driver di draft perda,” ujarnya.
Meski banyak poin aspirasi sudah masuk, kata dia, beberapa redaksi dalam draft masih menimbulkan tafsir ganda. “Ada, bahasanya cuma multitafsir, yang harus ada penegasan. Dan kami juga terima izin juga, kalau bisa di Bali izinnya beda,” katanya.
Menurut dia, pengaturan izin yang spesifik di Bali diperlukan agar tidak menimbulkan ketimpangan di lapangan. Selain itu, FPDPB juga menyoroti perbedaan tarif antara wisatawan domestik dan asing yang kerap memunculkan persoalan. Darmayasa menilai hal ini harus diatur tegas agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan pengemudi maupun pengguna jasa.
Saat ini, keberadaan aplikasi dengan tarif murah memang memudahkan masyarakat, namun di sisi lain, lanjutnya, merugikan driver pariwisata.”Yang bermasalah kan sekarang aplikasi-aplikasi yang harganya murah ini untuk masyarakat kan. Saya sendiri juga pakai kan. Tarifnya untuk wisatawan asing, ini yang terjadi masalah. Jadi harus diatur,” tegasnya. (bgn008)25091618