Denpasar, Baliglobalnews
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Bali, mengukuhkan lima guru besar tetap, di ruang auditorium kampus setempat pada Jumat (7/3/2025) pagi. Pengukuhan dipimpin Rektor Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar I Made Sukamerta.
Kelima guru besar tetap yang dikukuhkan yakni I Putu Sujana sebagai profesor tetap bidang ilmu budidaya pertanian, Ida Ayu Made Sri Widiastuti sebagai profesor tetap bidang pendidikan Bahasa Inggris, Ni GA Gede Eka Martiningsih sebagai profesor tetap bidang pembangunan pertanian berkelanjutan, I Ketut Sukewati Lanang Putra Perbawa sebagai profesor tetap bidang hukum pemilu, dan Desak Putu Eka Pratiwi sebagai profesor tetap bidang semantik.
“Hari ini kita kukuhkan lima guru besar. Dan ternyata Unmas telah memiliki 116 orang dosen kualifikasi S3 dan total guru besar sebanyak 8 orang,” ucap Rektor Unmas dalam sambutannya.
Dia menyampaikan dengan bertambahnya lima guru besar di Unmas Denpasar mencatatkan menjadi Perguruan Tinggi Swasta memiliki dosen S3 tebangak saat ini. Dia mengharapkan para guru besar dapat meningkatkan daya saing Unmas ditingkat nasional dan internasional, serta mengedukasi masyarakat lebih cerdas menuju Indonesia Emas. “Unmas menjadi PTS pertama yang memiliki akreditasi unggul. Dan tercatat Unmas meraih peringkat 78 dari 5.700 PTN/PTS Se-Indonesia,” katanya.
Sementara Guru Besar Tetap Bidang Hukum Pemilu, I Ketut Sukewati Lanang Putra Perbawa, dalam orasi ilmiahnya yang berjudul ”Kedaulatan Rakyat dan Pemilu Antara Legitimasi dengan Digitalisasi”, menyoroti tantangan dalam sistem pemilu saat ini, salah satunya terkait masalah biaya yang tinggi serta potensi kecurangan seperti politik uang. Atas permasalahan ini, ia mengusulkan penggunaan sistem e-voting sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pemilu.
“Melihat perkembangan zaman ke depan, pemilu yang dianggap mahal dapat menimbulkan persoalan banyak, adanya kecurangan, adanya money politik, dan sebagainya. Salah satu usulan yang kita lakukan adalah dengan e-voting, karena dengan e-voting ini kita memungkinkan mengurangi persoalan biaya yang mahal, persoalan kecurangan, kemudian persoalan-persoalan yang menghambat dalam proses-proses itu,” ujarnya.
Lanang menjelaskan pemilu di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sejak era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Perubahan tersebut meliputi konstitusi, sistem pemerintahan, lembaga negara, serta regulasi penyelenggaraan pemilu. Salah satu dinamika pemilu saat ini adalah perdebatan mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold), sistem pemilihan langsung dan tidak langsung, serta mekanisme pemilihan kepala daerah.
Menurut dia, seiring dengan perkembangan teknologi dalam era Society 5.0, digitalisasi dalam pemilu menjadi keniscayaan. Negara-negara seperti India, Brasil, dan Estonia telah menerapkan sistem e-voting dengan berbagai model. Jika Indonesia ingin mengadopsi sistem serupa, maka kesiapan teknologi, infrastruktur, sumber daya manusia, serta keamanan siber harus menjadi prioritas.
“Apakah mungkin e-voting ini ke depan bisa direalisasikan di Indonesia? Saya pikir mungkin, karena dengan masyarakat generasi muda yang menginginkan digitalisasi dan peralatan-peralatan itu sudah sangat canggih di Indonesia, tinggal bagaimana negara mengguide, membuat siber sekuriti itu,” ucapnya.
Menurut dia, digitalisasi dalam pemilu dapat memberikan berbagai manfaat, seperti efisiensi biaya dan waktu, meningkatkan partisipasi pemilih, serta meminimalkan kesalahan manusia dalam penghitungan suara. Namun, tantangan utama seperti serangan siber, perlindungan data pemilih, dan potensi kecurangan digital juga harus diantisipasi dengan sistem keamanan yang kuat.
Dia mencontohkan negara-negara seperti Belgia dan Belanda telah menggunakan sistem smart card dan touch-screen computer dalam pemilu mereka. Menurut berbagai penelitian, aspek akurasi dan kecepatan menjadi pertimbangan utama dalam penerapan e-voting. Dengan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan, sistem ini dinilai dapat menghemat waktu dan biaya dibandingkan pemilu konvensional.
Salah satu keuntungan utama dari e-voting adalah mengurangi pelanggaran pemilu, seperti pemilih ganda, politik uang, dan penyalahgunaan surat suara.
Dalam konteks Indonesia, kata dia, penerapan e-voting dinilai relevan mengingat dominasi pemilih dari generasi muda yang akrab dengan teknologi. “Melihat komposisi pemilih yang hampir 65 persen anak muda di bawah 40 tahun, penggunaan e-voting sangatlah mungkin dilaksanakan dan mendapat dukungan anak muda,” katanya.
Menurut dia, e-voting diterapkan dengan sistem keamanan yang kuat, maka Indonesia dapat menikmati manfaatnya dalam bentuk pemilu yang lebih efisien, transparan, dan bebas dari intervensi politik uang. Digitalisasi tidak hanya memudahkan proses pemilihan, tetapi juga menjamin integritas demokrasi di Indonesia.
“Di Brazil, juru bicara Komisi Pemilihan Umum berpendapat sistem e-voting menghasilkan ‘100 persen bebas penipuan’. Selain itu, Komisi Pemilihan India juga menyatakan sistem e-voting memerangi masalah kecurangan pemilu India, seperti menambah polling di tempat pemungutan suara atau mencuri kotak suara,” jelasnya. (bgn008)25030709