Media Informasi Masyarakat

Terkait Larangan Ogoh-ogoh, Begini Tanggapan Sekretaris MDA Badung

Badung, Baliglobalnews

Surat Edaran (SE) bersama Majelis Desa Adat (MDA) dan PHDI Provinsi Bali yang juga melarang adanya pawai ogoh-ogoh sepeti pada perayaan Nyepi tahun lalu, mendapat tanggapan dari Sekretaris MDA Kabupaten Badung, IB Widnyana.

”SE bersama MDA dan PHDI Provinsi Bali sudah prosedural. Oleh karena itu, sebagai struktur jajaran organisasi dari atas ke bawah, sudah pasti harus menghormati produk tersebut,” kata IB Widnyana Rabu (20/1).

IB Widnyana minta masyrakat, krama Bali harus menghormati, karena kita menyepakati MDA dan PHDI merupakan kelembagaan yang secara tatanan mengkoordinir tata cara perjalanan ayah (pengabdian-red) kita di adat dan agama. ”Kita sebagai masyarakat harus menghormati, apalagi dalam SE itu kalau kita baca, kita resapi, semuanya sudah sesuai dengan prosedural sastra dan juga tujuan bagaimana caranya,” katanya.

Intinya, kata IB Widnyana, dalam menjalankan agenda kesanga tahun ini, karena bertepan dengan pandemi Covid-19, ditambah dengan pangrastiti seperti yang sudah tertera. ”Di danau, pantai, campuhan, di setra, kembali ke, istilah Balinya, nebelin penunasican. Semoga Ida Sasuhunan sami asung kerta nugraha agar masyarakat semuanya seger waras rahayu,” katanya.

Dia meyakini semua itu sudah pasti sebagai prioritas. Hanya, dia menganjurkan dresta masing-masing agar tetap dijalankan, karena sudah merupakan pakem. Hanya tambahan pangrastiti. ”Tetapi yang juga patut selalu diingat dan diterapkan adalah protokol kesehatan. Agar tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang langkah untuk mencegah penularan virus Corona,” katanya.

Mengenai ogoh-ogoh, Widnyana menyebutkan sudah tertera dalam tatanan dudonan upakara yadnya. Ogoh-ogoh yang disebutkan dalam karya yadnya, biasanya dalam karya besar, baik dewa yadnya maupun sampai ke pitra yadnya, hanya ada dua yang melambangkan purusa pradana, yang disebut Kaki Patuk dan Nini Patuk. Ogoh-ogoh yang disebutkan dalam tatanan kesusastraan sebagai uparengga perlengkapan upakara upacara yadnya. ”Tetapi kalau ogoh-ogoh yang kita ketahui dalam serangkanan perayaan tawur kesanga, memang benar sekali mulai ngetrennya tahun 90-an. Itu merupakan sebuah kreativitas budaya seni, yang juga di situ menimbulkan kebersamaan. Karena masuk ke dalam sebuah rangkaian upakara dan upacara tawur kesanga, maka di situlah agar tidak keluar dari pakem perayaan itu sendiri yakni tawur kesanga, yang mana kalau tawur, caru itu sudah barang tentu kita bersama menghaturkan sesembahan atau penunasicaan kepada Ida Bhatara Kala, atau kepada prasanakan Ida peragaan Durga dan Kala Rudra yang diceritakan pada perjalan Beliau dari setra sampai ke bale agung,” katanya seraha menambahkan filosofi yang tertuang di dalam perayaan atau ogoh-ogoh itu tidak boleh keluar dari pakem-pakem tentang bhuta kala yang waktu tawur dihaturkan atau di-ayeng untuk dimohonkan asih agar tidak mengganggu, tidak ngrubeda di jagat.

Widnyana menyebutkan Kaki Patuk dan Nini Patuk bukan hanya dibuat ketika ada upacara mamukur untuk sulinggih, ”Pakemnya, kalau karyanya besar, utama, simbol itu (kaki patuk dan nini patuk) wajib ada, termasuk ngusaba desangusaba nini, karya di pura besar, itu simbol dua energi, purusa pradana, baik dari luar sampai ke inti,” katanya. (bgn003)21012024

Comments
Loading...
Efficient AI writing without limits — open project.