Konservasi Burung Hantu Desa Adat Pagi Jadi Wahana Edukasi di Tabanan
Tabanan, Baliglobalnews
Mendapat julukan lumbung berasnya Bali dan juga terkenal dengan “subak” (sistem pengairan) teraseringnya yang indah, membuat petani di beberapa daerah di Kabupaten Tabanan, membudidayakan burung hantu sebagai pembasmi hama tikus untuk mengurangi penggunaan zat kimia. Hal itu dilakukan, guna menjaga ekosistem mata rantai makan. Dan diharapkan keberadaan konservasi satwa ini, menjadi daya tarik wisata edukasi bagi anak-anak.
Salah satu dari tiga desa yang telah melakukan konservasi burung hantu, berada di Desa Adat Pagi, Senganan, Kecamatan Penebel. Jaraknya 23 kilometer dari Kantor Bupati Tabanan dan dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 35 menit dengan kendaraan.
Sebelum mencapai kawasan konservasi burung hantu Desa Adat Pagi, akses jalan menuju lokasi sudah terlihat mulus, karena telah diaspal (ormik). Sehingga pengunjung tidak berjoget di dalam mobil, maupun menggunakan kendaraan roda dua. Tampak dikiri-kanan menuju lokasi konservasi, suasana pedesaan yang sangat asri telah menyambut kedatangan para pengunjung.
Uniknya lagi, lampu penerangan jalan di Desa Adat Pagi yang ada di depan rumah warga, terpasang lampion berwujud burung hantu, yang dimaknai memberikan perlindungan dan cahaya saat malam hari. Ditambah, saat tiba di kawasan konservasi terlihat pemandangan hamparan sawah yang asri membuat mata terasa segar memandangnya.
Awal mulanya dilakukan konservasi burung hantu ini, karena melihat situasi seragan hama tikus yang kerap kali menimpa para petani di daerah tersebut. Sehingga Komunitas Mewali mencari cara untuk menanggulangi hama tikus ini. “Berawal dari inilah, kami melakukan konservasi burung hantu, yang juga nantinya sebagai edukasi untuk anak-anak atau tamu (wisatawan) ke Desa kami,” ucap Made Jonita (48), selaku Ketua Kelompok Konservasi Burung Hantu Desa Adat Pagi, Kecamatan Penebel, saat ditemui pada Minggu (30/1).

Acap kali masyarakat awam menilai burung hantu ini sangatlah seram, karena tahayul yang membuat mereka takut. Namun, dengan adanya konservasi “kedis celepuk” yang sering disebut masyarakat Bali ini, justru dapat menambah wawasan dan menampik tahayul keangkeran burung ini. “Di desa kami juga memasang lampu penerangan jalan dengan berbentuk burung hantu, sebagai ciri khas desa ini. Berkat ide dan kreativitas para pemuda, yang ingin memperkenalkan Desa Pagi ini,” ucapnya.
Pria yang akrab disapa Joni ini, menegaskan pemasangan lampu lampion berbentuk burung hantu ini juga sebagai edukasi bahwa Desa Pagi sangat serius menjaga habitat satwa yang kian hari semakin punah. Sehingga, dengan konservasi ini, menambah populasi burung hantu di desa setempat. Yang kemudian dilatih untuk memangsa tikus dan kemudian dilepas liat kan kembali ke habitatnya. “Awalnya satwa ini ada delapan ekor, dan setelah berkembangbiak, kita latih untuk memangsa tikus. Kemudian kita lepaskan ke alam liar,” tuturnya.
Saat ini, populasi burung hantu di Desa Pagi tidak terhitung jumlahnya, karena sudah puluhan yang sudah dilepas liarkan. Namun, harapan besar agar satwa ini dapat terus berkembangbiak dialam bebas. Selain di Desa Pagi, tutur Joni, konservasi satwa burung hantu ini juga ada di Desa Timpag dan Desa Sunantaya.
Melihat manfaat yang cukup besar dari pelepasliaran burung hantu untuk membasmi hama tikus di lahan pertanian ini. Juga membuat banyak desa lain ikut melakukan upaya konservasi “celepuk”, seperti di Desa Pagi. “Waktu kita melakukan pelepasliaran celepuk, 80 persen hama tikus hilang,” ucapnya.
Meski masih ada serangan hama tikus yang tidak begitu masif, pihaknya berharap petani tidak memasang racun tikus, karena akan juga berdampak punahnya satwa burung hantu ini, jika memakan tikus yang terkena racun. Mengingat, dalam siklus rantai makanan, burung hantu ini masih memerlukan makanan tikus, ular dan katak.(bgn008)22013012


