DPRD Tabanan Desak Aplikasi Aduan dan Sosialisasi Tata Ruang Masif, Atasi Pelanggaran di LSD dan Jatiluwih
Tabanan, Baliglobalnews
Komisi I dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tabanan mendorong pemerintah daerah untuk segera membuat aplikasi layanan pengaduan masyarakat. Langkah ini bertujuan untuk mengatasi persoalan tata ruang dan perizinan, sekaligus mencegah pelanggaran, khususnya di kawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan situs Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih.
Hal tersebut dibahas dalam rapat kerja gabungan Komisi I dan II bersama eksekutif yang digelar di ruang rapat paripurna DPRD Tabanan pada Senin (14/7/2025). Rapat ini secara khusus membahas sejumlah temuan pelanggaran tata ruang, terutama di Desa Beraban Kecamatan Kediri dan Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel.
Ketua Komisi I DPRD Tabanan I Gusti Nyoman Omardani menjelaskan bahwa rapat ini merupakan bagian dari monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tabanan Tahun 2023–2043, termasuk Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di Kabupaten Tabanan. “Kami menyoroti beberapa pelanggaran tata ruang, seperti pembangunan vila di kawasan LSD Banjar Batugaing, Desa Beraban, Kediri, yang telah ditindak Satpol PP, serta ditemukannya 13 pelanggaran baru di kawasan Desa Jatiluwih, Penebel,” ujarnya.
Omardani menyatakan penegakan Perda RDTR tidak serta-merta dilakukan dengan tindakan tegas langsung. Ada mekanisme yang harus dipatuhi, dan ini terkadang menjadi penghambat. Dia menyebutkan permasalahan utama muncul karena kurangnya sosialisasi mengenai mekanisme perizinan dan pemahaman masyarakat yang keliru terkait status Nomor Induk Berusaha (NIB). “Banyak masyarakat beranggapan bahwa NIB itu sudah merupakan izin. Padahal, NIB harus dilengkapi dengan Informasi Tata Ruang (ITR), Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF),” katanya.
Sebagai solusi, kata dia, DPRD meminta pemerintah daerah melalui OPD terkait untuk segera melakukan sosialisasi masif ke desa-desa dan masyarakat mengenai tata ruang dan perizinan yang benar. Selain itu, DPRD juga mendorong pembuatan aplikasi layanan pengaduan masyarakat terkait persoalan tata ruang dan perizinan. Aplikasi ini diharapkan dapat mengakomodasi persoalan di wilayah masing-masing, serta menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Mengenai 13 titik temuan pelanggaran yang ditemukan di Jatiluwih yang merupakan kawasan warisan budaya dunia (WBD), Omardani menilai perlu adanya standar operasional prosedur yang mencantumkan batas waktu penyelesaian atas temuan pelanggaran. “Jangan sampai pelanggaran dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah harus punya SOP yang jelas dan terukur, termasuk batas waktu penanganannya,” ujarnya seraya menekankan perlunya ketegasan dan kecepatan dalam penegakan aturan di wilayah sensitif seperti Jatiluwih.
Rapat tersebut turut dihadiri oleh Ketua Komisi II I Wayan Lara, serta para anggota. Sedangkan dari eksekutif hadir Asisten II, Dinas PUPRPKP, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Satpol PP. (bgn020)25071410