DPRD Bali Segera Menindaklanjuti Keluhan Masyarakat Adat Jimbaran terkait Pembatasan Akses ke Pura oleh Pengusaha
Denpasar, Baliglobalnews
Panitia Khusus Tata Ruang, Aset dan Perizinan (Pansus Trap) DPRD Bali, segera menindaklanjuti keluhan warga Desa Adat Jimbaran, yang mengeluhkan adanya penguasaan lahan adat dan pembatasan akses menuju sembilan pura di kawasan tersebut oleh PT Jimbaran Hijau (PT JH). Dimana, tiga di antaranya Pura Batu Nunggul, Pura Batu Layah, dan Pura Batu Mejan, yang saat ini benar-benar terhalang akses.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali I Made Supartha menegaskan tanah adat, terutama yang menjadi lokasi tempat suci, seharusnya tidak boleh dibatasi penggunaannya oleh pihak manapun, terlebih area suci tersebut telah menjadi tempat ibadah turun-temurun. “Orang pura itu memang sudah tempat ibadahnya dari zaman nenek moyangnya. Nggak boleh dilarang-larang. Orang beribadah, kita punya rumah kok malah jadi tamu, kan nggak bener. Jangan sampai orang Bali jadi tamu di rumahnya sendiri, ini contoh nyata,” tegas Suparta kepada wartawan usai menerima rombongan warga Desa Adat Jimbaran di Denpasar pada Rabu (5/11/2025).
Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali itu minta supaya pengempon pura bersurat ke Kapolda Bali, dengan tembusan ke polres dan polsek terkait, juga ke Gubernur Bali Wayan Koster, Ketua DPRD Dewa Made Mahayadnya, Komisi I dan Pansus. “Setelah surat disampaikan, kita turun sekalian mengecek kegiatan pembangunan di sana, apakah izin-izinnya lengkap, apakah ada pelanggaran tebing atau pembangunan di atas lahan yang disengketakan,” katanya.
Dengan demikian, kata dia, dalam waktu dekat Pansus TRAP DPRD Bali segera memanggil PT JH untuk klarifikasi dijadwalkan paling cepat pekan depan, setelah dilakukan pengumpulan data dan inventarisasi masalah dari berbagai pihak. “Ya, minggu depanlah, kita cek jadwalnya dulu biar nggak tabrakan sama agenda lain. Nanti kita RDP dengan pemerintah yang memberikan hibah dan juga masyarakat. Saya rasa urusan hibah clear, hanya saja pelaksanaan di lapangan yang banyak tantangan,” ujar Anggota Komisi I DPRD Bali ini.
Sementara Bendesa Adat Jimbaran I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra mengungkapkan terdapat sembilan pura di kawasan tersebut, dimana tiga di antaranya Pura Batu Nunggul, Pura Batu Layah, dan Pura Batu Mejan ada di kawasan yang diklaim milik PT JH. Beberapa pura lain, seperti Pura Taksu, masih bisa dikunjungi karena telah dibuatkan akses oleh pihak perusahaan. “Ada satu pura itu, Pura Taksu itu dibuatkan memang akses oleh mereka. Nah inilah yang jadi pertanyaan tadi, apakah semua bulat masyarakat mendukung? Ada Pura Taksu yang diberikan akses, kemudian pengemponnya diberikan ganti tanah. Mereka tentu merasa PT JH itu sudah baik. Ada satu pura yang memang diperlakukan seperti itu, tapi sebelumnya itu ya bertengkar terus juga,” jelasnya.
Sejak lahan tersebut dikuasai oleh PT JH sekitar tahun 2010 atau 2012, kata Rai Dirga, warga yang hendak bersembahyang di pura harus meminta izin terlebih dahulu kepada pihak perusahaan. “Kalau misalkan tidak ada petugas yang pegang kunci, yang pegang gembok di portal itu ya nggak bisa masuk. Nah itu yang terjadi. Kami terus-menerus berhadapan dengan warga kami yang mengeluh tidak bisa masuk pura untuk sembahyang,” jelasnya.
Pembatasan itu, kata dia, berlaku bagi semua umat yang hendak sembahyang, termasuk jero mangku atau pengempon pura. “Kondisi ini tidak pernah terjadi sebelumnya sebelum lahan tersebut dikelola oleh perusahaan,” jelasnya.
Meski pihak perusahaan menyatakan tidak pernah menghalangi warga beribadah, lanjut Rai Dirga, namun faktanya justru berbeda, dimana pihak PT JH selalu mengatakan tidak pernah menghalangi orang bersembahyang. “Namun faktanya jalannya dirusak, di depan dipasangkan portal, dikunci, dan seterusnya. Jadi harus izin. Ini kan aneh, kita mau sembahyang tapi izinnya kepada orang,” katanya kepada sejumlah wartawan.
Di lain pihak, Kuasa Hukum PT JH, Michael A. Wirasasmita dan I Kadek Agus Widiastika Adiputra, menegaskan bahwa perusahaan tidak pernah bermaksud menghalangi pembangunan pura atau kegiatan keagamaan di kawasan tersebut. Menurut dia, langkah yang dilakukan PT JH justru bertujuan mencegah potensi penyalahgunaan dana hibah pemerintah yang dapat berujung pada permasalahan hukum. “Kami tidak pernah berniat menghalangi pembangunan pura, apalagi tempat ibadah. Kami hanya ingin memastikan agar penggunaan dana hibah sesuai ketentuan dan tidak salah sasaran,” ujar Michael dan Kadek Agus seusai pertemuan.
Dia menjelaskan, dana hibah sebesar Rp500 juta dari Pemerintah Provinsi Bali yang difasilitasi oleh Anggota DPRD Bali I Ketut Tama Tenaya harus dipastikan digunakan di lahan yang benar sesuai proposal permohonan hibah. “Kalau sampai dibangun di atas tanah pihak lain, maka dana hibah itu bisa dianggap menyalahi aturan dan merugikan keuangan negara. Imbasnya bisa menyeret banyak pihak, termasuk Pemprov Bali dan Bapak Tama Tenaya yang niatnya justru baik membantu pembangunan pura,” kata Michael.
Dia menyatakan PT Jimbaran Hijau selama ini justru aktif mendukung kegiatan keagamaan dan sosial di wilayah Jimbaran. Di kawasan pengembangan PT JH sendiri terdapat empat pura yang rutin mendapat dukungan dari perusahaan, baik dalam bentuk bantuan fasilitas maupun partisipasi kegiatan masyarakat. “Kami selalu membantu kegiatan keagamaan di pura-pura yang ada di kawasan kami. Jadi tudingan bahwa PT JH menghambat pembangunan pura jelas tidak benar,” ucapnya.
Dengan demikian, PT Jimbaran Hijau menegaskan komitmennya untuk tetap menghormati nilai-nilai adat, keberadaan tempat suci, dan hak masyarakat setempat, sembari memastikan bahwa setiap kegiatan yang melibatkan dana publik dilakukan secara transparan dan sesuai aturan hukum. “Kami mendukung kegiatan masyarakat, tapi harus tetap sesuai aturan agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak manapun,” katanya. (bgn008)25110516

