Ditengah Pandemi, Sektor Pertanian Modern Dan Perikanan Di Bali Perlu Digenjot
Denpasar, Baliglobalnews
Lesunya Pariwisata di Pulau Dewata akibat pandemi Covid-19, membuat perekonomian Bali terseok-seok hingga saat ini. Namun, ekonomi Bali masih terselamatkan dengan adanya penggerak, disektor kuliner, industri rumahan atau jajanan, industri kreatif, gelaran pernikahan, pertanian modern dan kelautan yang harus digenjot.
Hal itu dikatakan, Prof. Dr IB Raka Suardana,SE.,MM selaku Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar, Selasa (22/6/2021)menjelaskan bahwa beberapa komoditas potensial Bali yang sudah dikenal, seperti ikan, udang lobster, pakaian jadi bukan rajutan, handicraft, peralatan rumah tangga termasuk produk pertanian dan perkebunan.
“Komoditas-komoditas itulah yang terus ditingkatkan. Sehingga devisa dari komoditas ini diharapkan bisa mengkompensasi hilangnya pendapatan dari pariwisata,” katanya.
Namun, untuk produk atau komoditas ekspor ini wajib bersaing disegala aspek, yakni dari kualitas, harga, ketepatan pengiriman dan aspek lainnya. Mengingat, pariwisata yang belum menentu kapan akan pulih juga harus dipupuk citranya dari sekarang.
Prof Raka yang juga selaku RCE BNI Wilayah 8 Bali-Nusra menerangkan, ekspor barang ke luar negeri juga akan mendatangkan devisa seperti kedatangan wisatawan, serta juga akan menggeliatkan ekonomi. Masyarakat Bali juga harus mengkonsumsi produk lokal sendiri, produk petani sendiri dan produk teman.
Perlu diketahui, tansportasi dan pergudangan paling terkena dampak pandemi Covid-19 dengan penurunan
sebesar -35,98 persen.
Sementara pengadaan listrik dan gas
merupakan sektor penunjang (supporting) bagibsektor usaha lainnya mengalami penurunan sebesar -27,00 persen, penyediaan akomodasi dan makan minum mengalami penurunan sebesar –24,42 persen.
Total perekonomian Bali pada triwulan I-2021 yang diukur berdasarkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atas dasar harga berlaku (ADHB) tercatat
sebesar Rp 52,88 triliun. Atau jika diukur atas dasar harga konstan (ADHK) tahun 2010, PDRB Bali tersebut tercatat sebesar Rp34,81 triliun.
Dengan besaran tersebut, ekonomi Bali triwulan I-2021 tercatat tumbuh negatif (kontraksi) sedalam -5,24 persen jika dibandingkan dengan capaian triwulan IV-
2020 (qtq), sedangkan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy), ekonomi Bali
triwulan I-2021 tercatat tumbuh negatif sedalam -9,85 persen.
Untuk itu, Bali harus menggenjot ekspor untuk mengganti lenyapnya devisa dari sektor pariwisata yang terpuruk dirajam pandemi COVID-19. Potensi itu ada,walau tidak gampang mewujudkannya. Namun dari catatan BPS peluang menggenjot ekspor itu terbuka. Terbukti di tengah pandemi nilai ekspor Bali meningkat. Walaupun baru dalam hitungan bulanan.
Sementara itu, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Rizki Ernadi Wimanda menjelaskan, Bank Indonesia memiliki peran memelihara kestabilan nilai rupiah, sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7.
“Kestabilan Rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai Rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan kestabilan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain,” jelasnya.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut dipandang sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang.
Dalam kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective). “Bank Indonesia terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efekefektivitasnya,” jelasnya.
Kata Rizky, dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). ITF merupakan suatu kerangka kerja (framework) dengan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan dan diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan akuntabilitas bank sentral. “ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai sasaran operasional,” tandasnya.(BGN008)21062244