Denpasar, Baliglobalnews
Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Bali membahas strategi penataan aset, termasuk tanah-tanah negara dan aset provinsi yang selama ini tersebar di titik strategis, terutama Canggu dan sekitarnya.
“Rapat kali ini akan menjadi pintu masuk untuk memperdalam persoalan aset yang sebelumnya belum banyak disentuh, karena beberapa agenda Pansus belakangan lebih banyak membahas tata ruang dan perizinan,” kata Ketua Pansus I Made Supartha didampingi Wakil Sekretaris Pansus Somvir dan I Ketut Rochineng usai rapat di Kantor DPRD Bali pada Senin (10/11/2025).
Upaya ini dilakukan, kata Suparta, guna melakukan inventarisasi ulang, evaluasi, dan memastikan aset provinsi benar-benar berada dalam penguasaan sah dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan yang melampaui perjanjian awal.
Dia menegaskan, rapat hari ini melakukan pendalaman terkait aset yang menghadirkan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bali, Biro Hukum, BPK RI Perwakilan Bali, tim ahli DPRD. Setelah itu, menyiapkan langkah berikutnya yakni akan mengundang seluruh Kepala BPN Kabupaten/Kota dan Kanwil BPN Bali untuk melakukan pendalaman lebih teknis dalam rapat gelar dengar pendapat (RDP) dalam waktu dekat ini.
Suparta yang juga anggota Komisi I DPRD Bali menyoroti sejumlah pola sewa saat ini berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan, terutama karena penyewa awal dapat menyewakan kembali lahan tersebut kepada pihak ketiga dengan nilai jauh lebih besar dan durasi melebihi batas perjanjian.
Ketua Fraksi Partai PDIP DPRD Bali ini menjelaskan, terkait penyesuaian harga sewa hendaknya jangka waktu lima tahun paling minimal, paling lama 10 tahun, untuk mengevaluasi pertambahan penyewaannya. “Ya kita lihat regulasinya. Kalau memang harus 5 tahun ya 5 tahun, kalau boleh 10 tahun ya 10 tahun, setelah itu boleh diperpanjang. Ini konsep yang memang yang perlu kita evaluasi,” ucapnya.
Menurut Suparta, praktik penyewaan ulang lebih dari 30 hingga 50 tahun telah terjadi, dan sejumlah transaksi bahkan disebut dilakukan menggunakan skema yang tidak sesuai aturan perbankan. Untuk itu, kepada BPKAD maupun Biro Hukum, Supartha meminta evaluasi menyeluruh dilakukan terhadap pola seperti ini, termasuk kemungkinan pelanggaran regulasi, potensi keuntungan sepihak, serta indikasi penyalahgunaan aset negara. “Karena banyak sekarang penyewa itu, dia menyewakan lagi kepada pihak ketiga dengan waktu yang panjang. Sampai dengan melebih daripada 30/50 tahun. Maka kita evaluasi berapa lama waktu yang mereka sewakan kepada pihak ketiga, termasuk berapa nilai sewanya. Kalau saat ini nilai sewanya itu sementara standar dari pemerintah adalah sesuai regulasi (Pergub). Tapi kalau dia menyewakan lagi dengan nilai yang lebih besar, ini nanti kan kita cek apakah melanggar regulasi atau tidak,” jelasnya.
Sementara Somvir mengingatkan agar penataan aset tidak justru menghambat iklim investasi dan kepastian durasi sewa menjadi faktor penting bagi investor yang ingin menanam modal dalam jangka panjang. “Saya cuma menambahkan, ini kan manis-manis dengar tadi. Yang pahit-pahit juga ada di sini. Kalau seorang investor datang, lokal, yaitu warga negara Indonesia, tidak mungkin dia akan tanam modal atau bangun rumah bila dia sewakan hanya 5 tahun. Tidak mungkin,” ujarnya.
Ketua Fraksi Partai Demokrat-NasDem DPRD Bali ini menjelaskan bahwa pelaku usaha umumnya membutuhkan jaminan jangka minimal 20 tahun agar investasi bernilai. Sementara pada aset provinsi, perubahan nilai sewa per 5 tahun dapat menjadi hambatan bagi investor yang membutuhkan stabilitas. “Kalau di tanah provinsi kan walaupun 30 tahun perjanjian tapi pembayaran dan bisa dirubah-rubah. Sehingga ini juga perlu salah satu yang kita pikirkan,” katanya.
Investor, kata dia, justru lebih memilih menyewa tanah perorangan karena bisa langsung mendapatkan kepastian hingga 30 tahun tanpa perubahan tarif. Jika aset provinsi terlalu sering dievaluasi dan disidak, Somvir khawatir pelaku usaha memilih menghindar.
Kepala Bidang Pengelola Barang Milik Daerah BPKAD Bali I Made Arbawa mengatakan Pemprov Bali memiliki 5.444 bidang tanah dengan total luas 3.077,49 hektare. Dari jumlah tersebut, 4.861 bidang telah bersertifikat, sementara 583 bidang lainnya masih dalam proses penyelesaian dokumen. Data tersebut disusun berdasarkan KIB A Tanah per 31 Desember 2024 dan kini menjadi fondasi evaluasi lanjutan dalam agenda pengamanan aset daerah.
Sebaran aset ini terhampar di seluruh kabupaten dan kota di Bali dengan komposisi yang sangat beragam. Kabupaten Buleleng tercatat sebagai wilayah dengan aset terluas, yakni 718,55 hektare dari total 613 bidang tanah. Karangasem menyusul dengan luas 439,24 hektare dan jumlah bidang mencapai 498 bidang. Kabupaten Badung memiliki jumlah bidang terbesar, yakni 1.109 bidang tanah dengan total luas 343,89 hektare.
Gianyar mengoleksi 437 bidang dengan luas 220,15 hektare, sementara Jembrana memegang 224 bidang senilai 226,03 hektare. Di Tabanan, aset tanah milik Pemprov tercatat sebanyak 640 bidang dengan total 369,07 hektare. Klungkung memiliki 1.074 bidang dengan luas 337,01 hektare, sedangkan Bangli menyimpan 236 bidang aset dengan total 156,07 hektare. Kota Denpasar, sebagai pusat pemerintahan, memiliki 405 bidang tanah milik Pemprov dengan total luas 266,92 hektare.
Dari jumlah aset tanah Pemprov Bali tersebut, dikatakan ada sebanyak 3.625 bidang tanah yang memiliki potensi untuk pemanfaatan hingga tahun 2025 ini. Dan sebanyak 297 bidang tanah telah dimanfaatkan. Baik disewakan sebanyak 181 bidang, kerja sama pemanfaatan 2 bidang tanah, dan pinjam pakai sebanyak 114 bidang.
Kawasan yang saat ini mengalami tekanan pembangunan paling besar adalah wilayah Desa Canggu dan desa-desa penyangganya. Berdasarkan paparan, terdapat empat desa yang menjadi kantung utama aset provinsi, yakni Desa Canggu dengan 22 bidang tanah, Desa Cemagi dengan 58 bidang, Desa Munggu dengan 76 bidang, dan Desa Pererenan dengan 11 bidang tanah.
Di luar Bali, Pemprov masih memiliki sembilan bidang tanah seluas total 0,57 hektare di sejumlah daerah seperti di Jawa dan pernah memiliki aset di Sulawesi sebelum akhirnya dihibahkan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Lahan-lahan tersebut umumnya digunakan sebagai asrama mahasiswa Bali di luar daerah. (bgn008)25111008