Kebijakan OSS di Bali Perlu Dievaluasi Cegah Alih Fungsi Lahan

Denpasar, Baliglobalnews

Wakil Gubernur Bali I Nyoman Giri Prasta menilai kebijakan Online Single Submission (OSS) yang memudahkan penerbitan izin usaha tanpa mempertimbangkan rencana tata ruang rill di daerah, membuat pemerintah kabupaten dan kota kewalahan mengendalikan konversi lahan.

“Alih fungsi lahan yang masif tak lepas dari kebijakan pusat, terutama regulasi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang melahirkan sistem Online Single Submission (OSS). Siapapun sebagai pemerintah sudah pasti tidak menginginkan terjadinya alih fungsi lahan, sudah pasti. Apalagi tanah yang dikonversi,” kata Giri Prasta sidang paripurna DPRD Bali di Kantor Gubernur Bali, Denpasar, pada Rabu (15/10/2025).

Melihat kondisi tersebut, kata dia, perlu dikendalikan dengan regulasi yang tegas dan penegakan yang konsisten. Seperti dalam sistem OSS tersebut, kata Giri Prasta, pemodal asing dengan modal Rp10 miliar sudah dapat membangun usaha, sementara investasi di bawah Rp5 miliar bahkan diperbolehkan memanfaatkan jalur hijau. Selain itu, lahan sawah yang seharusnya dilindungi dapat digunakan hingga 30 persen untuk kepentingan usaha. “Omnibus law ini adalah bagaimana menggabungkan dari semua regulasi bisa dijadikan satu untuk mempermudah. Salah satu Undang-Undang Cipta Kerja. Nah terhadap regulasi ini, jangan disalahkan dengan adanya OSS. Bahwa pemodal asing itu 10 miliar bisa membangun loh. Itu satu,” kata Bupati Badung 2 periode ini.

Dia menilai tumpang tindih regulasi antara kebijakan daerah dan pusat menjadi penyebab utama lemahnya pengendalian pembangunan. Apalagi Perda itu bertentangan dengan kebijakan pusat. Dengan OSS ini, dia bisa mencari NIB aja cukup sudah boleh (bangun). “Ini memang kewalahan bagi kita semua, bukan hanya Badung saja. Dan saya jamin seluruh Indonesia, apalagi di Bali. Pasti akan berkurang (jumlah lahan hijau), karena memang itu regulasinya,” ucap Politikus dari Partai PDIP ini.

Giri Prasta menjelaskan, guna mengantisipasi hal itu Gubernur Bali Wayan Koster telah menyampaikan kepada pemerintah pusat agar memperketat syarat penanaman modal asing (PMA) dengan menaikkan batas minimal nilai investasi. “Nanti ke depan PMA itu harus di atas, katakanlah Rp100 miliar gitu. Karena ini memang regulasi (pusat), Nggak bisa (diubah sendiri di daerah). Kalaupun, saya contohkan begini, siapa sebagai aparat bisa nggak menindak persoalan itu, Nggak bisa,” ucapnya.

Hingga saat ini, kata dia, pemerintah provinsi telah menjalin komunikasi dengan pusat terkait pelaksanaan OSS dan dampaknya di daerah. Seperti, banyak perbedaan antara data tata ruang di daerah dengan sistem perizinan pusat. Kondisi tersebut bahkan diperparah oleh praktik oknum tertentu yang memanfaatkan celah peraturan. “Bisa antara RTRW di Bali, salah satu wilayah kabupaten kota atau provinsi ini, bisa lain dengan yang ada di pusat. Misalkan di Bali ini adalah lahan pertanian perkebunan berkelanjutan, di situ sudah berubah menjadi akomodasi. Nah sistem inilah yang perlu harus kita kontrol bersama,” katanya.

Dia memandang pengawasan di tingkat daerah perlu diperkuat melalui penerapan zona integritas di seluruh tingkatan pemerintahan, mulai dari desa hingga provinsi. Zona integritas, lanjutnya, menjadi pondasi dalam menjaga kejujuran dan konsistensi kebijakan publik. “Zona integritas ini ada di desa dan kelurahan, ada di kecamatan, ada di OPD, kabupaten, provinsi, dan di Indonesia. Maka Indonesia sejati-jatinya Indonesia Raya. Ini yang harus kita benahi bersama,” katanya.

Ketua DPC PDIP Badung itu juga menyatakan sistem manual juga harus tetap berjalan sebagai kontrol apabila sistem digital mengalami gangguan atau disalahgunakan. Seperti contoh, adanya celah aturan dalam OSS memungkinkan pembangunan di jalur hijau dengan investasi di bawah Rp 5 miliar.

“Coba Anda lihat regulasinya. Boleh enggak dengan Rp5 miliar ke bawah jalur hijau itu dibangun. Misalnya contoh, saya punya kawasan jalur hijau. Lalu saya punya keluarga dan anak udah nikah. Pingin mengembangkan ekonomi, satu-satunya tempat ada di jalur hijau ini. Regulasi membenarkan Rp 5 miliar ke bawah (sudah boleh dibangun), ya pasti bangun di situ dong untuk meningkatkan ekonomi,” jelasnya.

Terkait usulan kenaikan batas minimal investasi menjadi Rp100 miliar, Giri Prasta optimistis langkah itu tidak akan mengurangi minat investor ke Bali. Pihaknya menilai kebijakan tersebut akan memunculkan investor yang lebih berkualitas dan berorientasi jangka panjang. “Syarat investasi asing harus diperketat agar pembangunan di Bali tetap seimbang dan tidak merugikan masyarakat lokal. PMA itu jangan diberikan kemudahan yang terlalu tinggi. Misalkan contoh Rp10 miliar itu boleh lo membangun dengan PMA, harusnya jangan. Katakanlah di atas Rp100 miliar, misalkan di atas 200 miliar. Ini kan menjaga, memproteksi wilayah kita di Bali. Karena kami ingin sekali pemerataan ekonomi itu ada di Bali dan masyarakat terus menjadi tuan di rumahnya sendiri,” ucapnya. (bgn008)25101518

giriprastaOSSwakilgubernurbali
Comments (0)
Add Comment