Badung,Baliglobalnews
Desa Adat Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, lokasinya tidak jauh dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung. Dengan jarak kurang lebih 4 km dari parkiran Kantor Puspem Badung, kita hanya membutuhkan waktu beberapa menit ke arah tenggara.
Desa Adat Dalung terdiri dari sepuluh banjar adat, meliputi Banjar Adat Untal-untal, Kaja, Tegeh, Lebah, Cepakq, Kung, Padangbali, Dukuh, Pengilian, dan Banjar Adat Pegending.
Jro Bandesa Desa Adat Dalung, Ir. I Nyoman Widana, menyebutkan Desa Adat Dalung tergolong desa adat anyar. Berhubung tergolong desa adat anyar, pihaknya belum mendeteksi adanya tradisi yang tergolong unik. Hanya ada panembahan berupa barung landung yang disebut Ratu Gede dan Ratu Ayu Sakti.
Jebolan Fakultas Teknik Unud tahun 1987 itu menyebutkan Desa Adat Dalung jauh dari zona pariwisata, sehingga tidak ada pendapatan asli desa dari pariwisata. Demikian pula sejak adanya larangan dari pemerintah untuk memungut dana dari krama tamiu dan tamiu, pendapatan asli desa adat hanya bersumber dari LPD. Dengan penduduk wed 587 KK yang terdiri atas krama lanang 1.286 orang dan krama istri 1.337 orang serta dengan 38 pura, yang terdiri atas Pura Puseh, Desa, Dalem, dan Pura Dalem Bajangan serta 34 pura prasanak, tentu pihaknya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Dalam menjalankan tugas menyangkut adat dan agama, pihaknya tidak hanya melayani krama wed, tetapi juga krama tamiu yang sangat banyak tinggal di perumahan-perumahan yang tersebar di Desa Adat Dalung.
“Semisal ada upacara mapahayu jagat, kami juga harus menginformasikan kepada krama tamiu, agar mereka juga ikut ngrastiti jagat karena ada di wewidangan Desa Adat Dalung,” katanya seraya menambahkan, jumlah krama tamiu 1.280 KK dengan populasi penduduk 5.881 orang dan tamiu 1.491 KK dengan total 5.927 orang penduduk.
Dengan banyaknya pendatang, baik krama tamiu maupun tamiu, tentu berdampak pada lingkungan yang dulu terbentang sawah yang luas kini berubah menjadi deretan rumah beton. “Hingga saat ini, di Desa Adat Dalung sudah berdiri 29 perumahan,” kata kakek dua cucu itu seraya menyebutkan perumahan tersebut di antaranya Perumahan Cemara Giri I, Cemara Giri II, Wahana Graha, Grand Srikandi.
Namun, Widana menyatakan dengan dana yang didapat dari LPD sementara cukup untuk memenuhi kebutuhan rutin desa adat, termasuk untuk mapunia kepada pura prasanak tatkala ada upacara piodalan atau karya.
Ketika ditanya apakah krama tamiu atau tamiu sama sekali tidak ada kontribusi ke desa adat tempat mereka bernaung, dia menyatakan selama Covid memang tidak ada kontribusi finansial dari krama pendatang, mungkin pada waktu yang akan datang akan diusahakan partisipasinya dalam pembangunan desa adat.
“Namun untuk pembangunan, kami mohon bantuan dari pemerintah melalui APB-Des, BKK, hibah dan lain-lain,” katanya.
Untuk kegiatan adat, budaya, dan agama berjalan seperti desa lain. Dia mencontohkan dalam menyambut Bulan Bahasa Bali, sesuai dengan semangat perda Gubernur, pihaknya juga menyelenggarakan berbagai lomba, sesuai dengan yang tertera dalam perda tersebut.
Dalam hal parhyangan, ayah dua anak itu menyatakan berjalan sesuai dresta yang ada. Hanya dalam hal pawongan, karena banyaknya perumahan krama tamiu, Widana menyatakan perlu sedikit ekstra dalam hal pengawasan. Bagaimanapun pihaknya harus tetap mengayomi. (bgn003)22020902