Wagub Cok Ace Ingatkan Pentingnya Harmonisasi Budaya dan Pariwisata
Denpasar, Baliglobalnews
Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, menekankan pentingnya harmonisasi antara penguatan budaya dan pengembangan sektor pariwisata. Hal tersebut diutarakannya saat menjadi pembicara pada bincang budaya “Nata Cintya Mani” di Aula Widya Sabha Mandala, Kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Sabtu (27/11).
Wagub yang akrab disebut Cok Ace menganalogikan budaya dan pariwisata seperti sosok ibu dan anak yang idealnya memiliki hubungan harmonis serta tak boleh ada kesan saling mendominasi.
Wagub Cok Ace nerunut ke belakang. Pada era tahun 30-an, Bali dikenal sebagai daerah agraris yang menjiwai perkembangan budaya masyarakatnya. Saat itu, satu dua orang asing mulai datang, bukan untuk tujuan wisata tapi dengan kepentingan lain. Ketika berkunjung ke Bali, satu dua orang asing itu takjub dengan keindahan alam dan keunikan seni dan budaya Bali.
“Mereka mendapati sebuah pulau yang begitu eksotis, lalu tertarik membawa kolega lainnya berkunjung. Oleh masyarakat Bali, awalnya mereka belum disebut turis, tapi krama tamiu. Demikianlah awal perkembangan pariwisata Bali,” tuturnya.
Hingga era tahun 70-an, kata Cok Ace, budaya masih dominan dan pariwisata masih dianggap sebagai bonus. Seiring makin banyaknya turis yang berkunjung ke Pulau Dewata, sektor pariwisata Bali booming pada tahun 90-an yang mulai memicu kekhawatiran akan munculnya ketimpangan antara budaya dan pariwisata. Kekhawatiran ini kemudian dijawab dengan pembentukan kawasan khusus pariwisata di Nusa Dua yaitu BTDC. “Tujuannya agar kantong-kantong budaya tetap dijaga,” katanya.
Namun pesatnya perkembangan pariwisata tak dapat dibendung hingga mengakibatkan fase ekonomi Bali langsung mengalami lompatan dari sektor primer (agraris) dan sektor tersier (jasa pariwisata), tanpa melewati tahap sekunder. Lompatan ini menyebabkan Bali belum siap dengan pondasi industri, seperti pengolahan sayur-mayur dan buah menjadi produk pangan olahan yang sejatinya dibutuhkan untuk menjaga stabilitas proses produksi hasil pertanian. “Kita belum siap dengan industri pengolahan. Hasil pertanian seperti buah, sayur dan lainnya hanya dijual begitu saja, padahal fase sekunder sangat kita butuhkan,” ujarnya.
Wagub yang juga menjabat sebagai Ketua BPD PHRI Bali, menyatakan disharmoni antara budaya dan pariwisata memuncak pada tahun 2000. Dia menyebut Bali berada di persimpangan dan dihadapkan pada pilihan sulit hingga akhirnya sebagian memilih sektor pariwisata yang memang menawarkan kesejahteraan. Dia lantas mengumpamakan budaya dan pariwisata seperti pohon, dimana budaya yang akarnya tumbuh di tanah Bali sebagai bagian batang dan pariwisata ada di bagian ranting yang relatif rapuh.
“Sebagian memilih pariwisata atau bagian ranting-ranting kecil, sementara batang dan akarnya terkesan luput dari perhatian. Karena terlalu fokus pada ekonomi, kita lupa merawat batang pohon,ibarat seorang anak lupa pada ibu. Kita telah tersesat cukup jauh, karena kepentingan pariwisata. Konsep pariwisata untuk Bali berbalik menjadi Bali untuk pariwisata, karena terlalu tunduk pada sektor pariwisata,” katanya.
Guru Besar ISI Denpasar itu menilai pandemi Covid-19 yang meluluhlantahkan perekonomian Bali memberi sebuah pelajaran bahwa ketidakharmonisan yang terjadi harus segera dibenahi. “Kita diingatkan agar jangan tersesat lebih jauh lagi ke dalam materialistik,” katanya.
Menurut dia, Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali dengan konsep pembangunan satu pulau satu tata kelola menjadi satu jawaban untuk mengembalikan harmonisasi sektor pariwisata dan budaya.
Dialog budaya yang dilaksanakan Badan Eksekutif Mahasiswa FIB Unud merupakan salah satu acara memeriahkan rangkaian kegiatan Reinkarnasi Budaya juga menghadirkan tiga pembicara lain yaitu Nararya Narottama, Anak Agung Gede Agung Rahma Putra dan Putu Eka Guna Yasa. (bgn003)21112710