16 Terdakwa Dituntut Jaksa Berbeda-beda, Seorang Nenek Dituntut 1 Bulan 4 Hari Dugaan Palsukan Silsilah
Denpasar, Baliglobalnews
Jaksa Penuntut Umum Kejati Bali menuntut 16 terdakwa dan seorang nenek bernama Ni Nyoman Reja (93) dengan hukuman berbeda-beda dalam sidang dugaan menyusun silsilah dan surat waris palsu untuk mengklaim tanah.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Jaksa Dewa Anom Rai menjatuhkan terdakwa I Made Dharma (64) dituntut 3 tahun penjara. Sedangkan I Ketut Sukadana dan I Made Nelson dituntut masing-masing 1 tahun 6 bulan penjara. Sebelas1 terdakwa lain, Ni Wayan Suweni, Ketut Suardana, Made Mariana, I Wayan Sudartha, I Wayan Arjana, Ketut Alit Jenata, Gede Wahyudi, Nyoman Astawa, Made Alit Saputra, Made Putra Wiryana dan I Nyoman Sumertha masing-masing dituntut pidana penjara selama 1 tahun.
Dua terdakwa lainnya I Ketut Senta dan seorang nenek Ni Nyoman Reja dituntut dengan pidana paling ringan, yaitu 1 bulan 4 hari penjara. “Menyatakan seluruh terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersama-sama membuat dan menggunakan surat yang isinya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Atau dengan cara menyusun silsilah dan surat waris palsu untuk mengklaim tanah seluas 13 hektare di Jimbaran, Kuta Selatan,” kata Jaksa dalam amar tuntutannya.
Jaksa menilai para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kumulatif Pasal 263 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Ketiga melanggar Pasal 277 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Hal yang memberatkan tuntutan para terdakwa, karena perbuatan para terdakwa telah menimbulkan kerugian bagi pihak lain dan tidak bersikap jujur dalam memberikan keterangan. Untuk Nyoman Reja dan Ketut Senta, yang meringankan adalah usia lanjut serta kondisi kesehatan yang sudah terganggu, termasuk gangguan pendengaran.
Diberitakan sebelumnya, dalam surat dakwaan JPU, para terdakwa yang terdiri dari berbagai jenjang kekerabatan, mulai dari anak, cucu, hingga sepupu, diduga bersekongkol menyusun silsilah keluarga palsu dan surat pernyataan waris untuk mengklaim tanah milik leluhur di kawasan Jimbaran, Kuta Selatan.
Rangkaian perbuatan para terdakwa dimulai sejak tahun 2001, saat keluarga besar mereka menyusun dokumen silsilah keluarga I Riyeg. Silsilah tersebut sempat dilegalkan oleh perangkat desa dan bendesa adat setempat. Namun, dua dekade kemudian, pada 11 Mei 2022, para terdakwa secara bersama-sama diduga memalsukan dokumen silsilah baru dan surat pernyataan waris yang menyatakan mereka sebagai satu-satunya ahli waris sah dari I Riyeg dan I Wayan Sadra.
Dalam silsilah yang diperbaharui tersebut, para terdakwa menambahkan tokoh fiktif dan mengubah informasi penting seperti jumlah anak leluhur, hubungan nyentana, hingga keturunan yang diakui. Salah satu perubahan krusial adalah penyebutan bahwa I Wayan Riyeg menikah dengan Ni Wayan Rumpeng dan memiliki tiga anak, padahal versi sebelumnya menyebut hanya satu anak dan itu pun tidak punya keturunan (putung).
Sementara para saksi korban yaitu I Wayan Terek, I Made Tarip Widarta, Nyoman Serep, Ketut Adnyana, dan Wayan Astawa menyatakan bahwa informasi dalam dokumen baru itu tidak benar. Mereka menunjukkan bukti lain seperti silsilah keluarga tahun 1985 dan surat keterangan resmi dari 1979 yang menguatkan bahwa mereka adalah ahli waris sah dari garis keturunan I Made Ketek anak angkat dari I Riyeg yang disetujui secara adat.
Puncaknya, pada 17 Januari 2023, para terdakwa menggunakan surat-surat tersebut sebagai dasar mengajukan gugatan perdata terhadap para saksi korban di Pengadilan Negeri Denpasar. Gugatan ini teregistrasi dengan nomor perkara 50/Pdt.G/2023/PN.Dps dan menyasar tanah seluas lebih dari 13 hektare di Banjar Pesalakan, Jimbaran, yang terdiri dari enam bidang tanah dengan pipil berbeda. Nilai kerugiannya ditaksir mencapai Rp718,75 miliar.
JPU menyebut tindakan para terdakwa bukan hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga mencemarkan proses hukum dan tatanan adat. Dengan membuat dan menggunakan surat-surat palsu seolah-olah sah, para terdakwa berupaya mengambil hak atas tanah milik saksi korban dengan cara melawan hukum.
Salah satu bukti penting dalam perkara ini adalah surat pernyataan yang dibuat kedua pihak pada Juli 2001. Di dalamnya disebutkan bahwa para terdakwa, melalui perwakilan I Made Patra dan I Made Dharma, telah menerima sebagian tanah secara cuma-cuma dan berjanji tidak akan menuntut tanah lain milik pihak pertama. Namun janji itu dilanggar melalui upaya gugatan yang kemudian terkuak sebagai hasil pemalsuan dokumen. (bgn008)25073012